Mohon tunggu...
M. Jundurrahmaan
M. Jundurrahmaan Mohon Tunggu... -

seniman kawakan dari bawah tanah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sesobek Catatan dari Buku Harian

16 Januari 2018   19:47 Diperbarui: 17 Januari 2018   00:06 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Prakata singkat; alkisahnya ini saya tulis selama beberapa puluh menit dengan judul 'Catatan Atas Para Mustadha'fin Muda'. Kemudian disebarluaskan ke akun sosial media Instagram dan Facebook pribadi. Saya sempat menulis suatuhal serupa dulu, dan masih ingat pula seorang Kompasianer menyeletuk apa yang saya alami hanyalah sebatas perasaan saya saja.

Saya tujukan esai ini kepada dirimu, Kawan.  Semoga tercerahkan bahwa ini tak juga terjadi kepada saya pribadi melainkan anak-anak lain pula.)

Setengah tahun masuk BS. Ternyata firasat buruk dari dulu benar-benar terwujud. Dilihat lewat lingkungannya sendiri yang kecil, kecil pula keakuran hubungan, dalam maksud 'berteman' sebagaimana dijargonkan oleh semua guru dari dulu, antar sesama. Mirip seperti apa saya selalu alami dan amati sejak SMP kemarin.

Ternyata gambaran seorang jawara Musikalisasi Puisi, atau maskotnya, sejak SMP dulu itu populer sebenarnya salah, ternyata dia selalu dikucilkan.  Diejek dari belakang. Seringkali di SG mengeluh dia suka dijauhi oleh kawan-kawannya yang lain kecuali kumpulan ia ikuti saja--dan ini juga terbilang jumlahnya lumayan kecil. Sehingga keseringan ia menyendiri kesana-sini.

Suatu waktu adapula momen unik terjadi--ketika pembagian anggota kelompok untuk pelajaran B. Indonesia, dua anak perempuan dan dua anak laki protes minta pindah ke tim lain. Secara harfiah saya tak tahu pasti alasannya mengapa walaupun asal-usulnya kemudian saya simpulkan dari kabar saya dengar; bahwa ada anak yang kurang setuju untuk bekerja sama dengan salah seorang anggota di dalam kelompok karena mereka tidak suka. Yang perempuan merengek, padahal anak-anak saya rasa mereka tidak sukai sebenarnya hanya sekadar pendiam saja. Itupula ketika ada diantaranya yang mencoba untuk berbicara, mereka takkan ditanggapi selayaknya teman-teman mereka sendiri. Di sekitaran kelas juga terdapat tiga geng saya amati, menariknya sepantaran pembagian klas-klas menurut teori Marx; ada mereka yang borjuasi (mereka yang tajir, panjat sosial), mereka yang lumpen-proletariat (mereka yang secara kebetulan dapat bergaul dengan anak-anak borjuasi, dan siapapun pula karena satu-dua alasan tertentu, namun memilih teman-temannya sendiri) lalu ada proletariat (mereka yang terpaksa untuk mencari teman mereka sendiri yang tersisa dan dikecualikan dari pergaulan kelas). Sehingga kesolidaritasan kelas dapat dibilang benar-benar tidak ada.

Dan ternyata memang benar dugaan saya bahwa ada beberapa anak yang sengaja dijauhkan setelah seorang teman saya bercerita mengimplikasi hal itu sendiri. Salah satu perempuan dari geng tajir kelas menyukai kawan saya sejak kecil dulu namun acapkali mengejeknya di belakang, jelas-jelas untuk membaurkan dirinya sebagai anak yang panjat.

Bagaimanapun juga ketika suatu saat saya mengeluhkan semacam sifat ketus terhadap sesama ini kepada orangtua lalu walikelas pribadi, mereka menganggap remeh masalah ini. Bertolak belakang dengan salah satu watak BS; yaitu sistimnya yang kekeluargaan. Demokratis. Konstruktif pula. Bahkan Ibu menyeletuk bahwa pengelompokkan-pengelompokkan ini wajar, juga diantara emak-emak zaman sekarang. 

Bahkan adapula suatu momen menarik dimana walikelas, entah bercanda atau enggak, menyarankan seorang anak dari geng yang akrab kepada si walkel untuk menjadikan sesuatu yang disuruh kepada si anak ini sebagai dorongan nilai Prakarya. Begitu juga ketika di sebuah hari Jum'at, waktu tengah mempersiapkan diri untuk mengikuti jadwal Tahfidz yang seringkali kami jalankan tiap hari tersebut, ia mengintimidasi sepasang teman perempuan saya ketimbang anak saya sebutkan tadi yang sebenarnya lagi menguruskan sebuah remedial yang tidak terselesaikan--singkat kata, lebih bersikap ringan walaupun tetap pula menegurnya.

Pantesan Indonesia enggak bisa berubah. Insan-insannya sendiri, dengan segala potensi terbaiknya, masih dibiarkan mengadopsi mentalitas 'kepada-mereka-yang-suka / akrab' saja, sehingga sekarang jarang-jarang ada remaja atau pemuda-pemudi berusia 20-30 tahunan (walaupun adapula segelintiran yang sebaliknya) yang peka terhadap, misalkan, orang miskin. 

15/01/2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun