Mohon tunggu...
M. Jundurrahmaan
M. Jundurrahmaan Mohon Tunggu... -

seniman kawakan dari bawah tanah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bahagiakanlah Kehidupan

1 Januari 2018   11:34 Diperbarui: 1 Januari 2018   11:38 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

            Ada beberapa rencana pada awalnya mengenai apa yang saya ingin tulis sebelum akhirnya berunjuk terhadap sesuatu senaif ini. Mungkin lebih baiknya saya mengangkat topik saya selalu ingin bicarakan dari dulu sejak isunya muncul secara spontan, yakni menjawab pertanyaan menggentayangnya hantu-hantu PKI lewat omongan-omongan pejabat Partai oposisi ataupun orang-orang tak berwawasan luas; namun saya surut kembali ke titik, selagi merenungkan semuanya serta garis besar ide utama artikel tersebut. Bagaimana tidak, walaupun benar kabar angin tersebut sepenuhnya salah, tapi yang perlu kita fokuskan bagi diri kita masing-masing adalah jargon---'bahagiakanlah kehidupan'.

            Bukanlah sesuatu yang invalidketika saya katakan bahwa manusia Indonesia, tidak bermaksud ingin mengutip karya Mochtar Lubis itu karena belum saya baca, memiliki karakteristik barbarik. Meminjam istilah psikoanalisis, terma tepatnya adalah egoyang dominan dalam diri mereka masing-masing---dan jika ada individu-individu berbeda diantara keseluruhannya, maka golongan-golongan ini termasuk pengecualian. 

Suatu ketika kemarin saya sempat menonton sebuah cuplikan kata sambutan oleh Ustad Abdul Somad, entah mengapa sekarang seolah tengah disohori sebagai sosok teranyar kubu Islamis rakyat, bahwa tahun depan (sekedar memparafrasekan ucapan aslinya) adalah tahun optimisme jika kita meminta pertolongan kepada Allah swt, diselipkan pula sebuah penafsiran salah mengenai sila pertama, 'Ketuhanan Yang Maha Esa'---dimana ia mengatakan Tuhan yang dimaksud adalah Allah itu sendiri. Semua omongannya ini disiarkan di sebuah acara TVOne dalam rangka merayakan tahun baru 2018.

Saya berusaha mungkin untuk berkepala dingin terhadap perkataan tersebut berhubung sudah sempat dongkol---jika kita mengatakan demikian, maka kita melupakan maksud dari sifat kemanusiaan semata, terlebih lagi makna kita sebagai manusia.

            Sejarah yang telah dilalui oleh negara kita ini telah membuktikan bahwa mereka menyampingkan hal-hal statis seperti ideologi atau apa yang sebuah golongan pahami demi memperjuangkan 'kemanusiaan', ketika masalah nyata nampak kentara di hadapan mereka .Namun sepanjang dua abad kita dipimpin oleh presiden dari golongan kita sendiri terbukti telah membawa semacam malapetaka ketika setiapkali mereka mementingkan orang-orang yang dianggap 'berseberangan', atau lebih kasarnya lagi---subversif. Ada penangkapan, pembunuhan massal dan seterusnya, sebagaimana dikatakan seorang aktivis muda Soe Hok-gie dalam suratnya kepada seorang kawan bernama Boediono, mengenai pembunuhan massal pasca Gestapu, bahwa---

            "...Rasa hormat manusia Indonesia terhadap hidup begitu turun dan menganggap bahwa membunuh manusia-manusia yang berbeda pendapat dengan 'pribadi'-nya adalah sesuatu yang wajar."

            Bagaimana tidak, kalau kita telisik, perbedaan antara dua zaman ini---saat kita dipimpin oleh orang-orang asing kemudian bagian dari rakyat kita sendiri---adalah problematika seluruh khayalak umum hadapi. Semasa kita berada dibawah moncong senjata yang datang dari sebuah barak asing, kita tak pernah mempelajari apa itu demokrasi, apa itu menghargai sesama manusia dan apa itu bertekad kepada idealisme pribadi mengenai seperti apa sebuah kehidupan yang merayakan hidup itu sendiri, kecuali lewat ajaran-ajaran Bung Karno mengenai Pancasila ataupun dari agama kita masing-masing---semua ini nampak kentara sebagai bagian dari jiwa keturunan manusia kita semua selama waktu penjajahan, namun beriringan dengan waktu setelah ancaman sejati itu menghilang dan bergantikan sebuah lagi berkedok suatu perdamaian oleh omongan para pemimpin negara, seolah kita terlalu menikmati demokrasi tersebut walaupun kesenjangan sosiologis masih tetap berlekat di antara individu atas nama organisasi, ras, ideologi ataupun agama masing-masing. Bahkanpula secara ekonomis ketika sekarang ini banyak kejadian anti-agraria seperti kriminalisasi pemimpin gerakan Kendeng Lestari, Joko Prianto atau penggusuran liar kabupaten Temon di Kulonprogo oleh pihak PT. AP I untuk proyek pembangunan NYIA.      

            Begitu banyak dosa negara kita dan seolah tanpa kita sadari masih berlanjut sampai sekarang. Penggerudukan masif oleh FPI, NU dan MUI pada tanggal 4/11 dan 2/12 untuk melengserkan Ahok---atau lebih tepatnya, reperkusi dari kedua aksi tersebut membawa semacam rasa takut akan membangkitnya sifat populisme rezim pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru karena semata-mata berbeda paham dengan mayoritas masyarakat atau para pejabat itu sendiri, walau untunglah tak ada diantara mereka yang berpegang teguh untuk memperjuangkan ideologi mereka masing-masing. Ini juga membangkitkan jiwa-jiwa mati arus kiri dari kubur mereka sendiri. Keberingasan kita terhadap paham kita yang dianggap benar dan hak seolah melupakan fakta sekarang pelanggaran hak asasi rakyat minoritas beberapakali sempat terjadi di tempat-tempat tertentu, melupakan satu masalah penting yang selalu nampak di hadapan kita---bahwa perkembangan negara sekarang masih meninggalkan sisa-sisa imperialistis bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Peraihan tahun 2018 sebagai era optimisme bukanlah hal yang tidak mungkin ketika kita menganggap semua bentuk penindasan terhadap sesama, maupun itu secara fisiologis atau politis, perlu dihentikan. Bahwa setiap ilmu perlu didalami untuk memajukan negara---maupun itu filsafat Marxisme, Kantianisme, mistisme Hindu dan seterusnya. 

Bahwa kesempitan pandangan kita terhadap dunia dan manusia-lah yang membawa keguncangan terus-menerus di negara kita sekarang. Bahwa setiap bidang perlu dikeraskan kemajuannya, tak hanya Iptek atau bioteknologi---begitu juga segi sosiopolitik atau pendidikan. Karena bagaimanapun mereka yang tertindas mengucap nama Yesus atau Buddha dalam doa keluhan mereka diiringi dengan sebuah erangan kesakitan atau bersumpah memperjuangkan ideologi mereka, kita akan melakukan hal yang sama pula---dan pada akhirnya sebuah clashakan muncul terhadap pihak penindas dengan tujuan yang sama pula. Yakni untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun