(Sebelum ada yang sekiranya terpelatuk, saya ingin mengaku bahwa saya tak membenci Anda, Kompasianer tua dan tengah berkuliah, yang telah dan sedang mengambil jurusan demikiandi sekolah masing-masing.)
Jika saya merasa prihatin memandang setiap anak, kawan-kawan sejawat saya, mengambil jurusan IPA saat SMA nanti dengan ambisi sempit, maka perasaan saya dapat dibenarkan. Secara idealnya untuk mengambil sebuah jurusan IPA adalah untuk menjadi sesosok ilmuwan cemerlang seperti Neil DeGrasse Tyson, bantu menyokong Perjanjian Paris yang bertujuan untuk mengurangi pemanasan global, yang makin mengancam pula setelah Presiden Trump telah memutuskan agar menarik peran negaranya dari perjanjian ini—terkadangkali saya menganggap sesuatu seperti ini hanyalah sebuah impian digambarkan di film-film mancanegara, terutamanya Hollywood, dimana ada anak-anak yang dengan bersemangat membicarakan tentang betapa menakjubkannya alam semesta, kehidupan biota dan permasalahan yang kini tengah dihadapi mengenai keutuhan Bumi. Jika berfikir dari sini saya teringat kemudian suatu ketika di kelas saya mengadakan sebuah sesi tanya-menanya mengenai jurusan-jurusan kuliah memungkinkan dari memilih antara IPA atau IPS, seorang anak kelas saya dengan terang-terangan bilang bahwa ia ingin jurusan Akutansi, lalu diikuti oleh seorang lainnya.
Terakumulasi kemudian hampir setengah anak-anak, kecuali seorang selain saya, menginginkan jurusan IPA namun bersikap ambigu mengenai mata perkuliahan apa yang mereka mau ambil. Salah seorang pula sempat memberi nasihat kepada saya, yang tak saya inginkan sama sekali walaupun tetap saya ladeni, bahwa saya mesti mengikuti pilihan mereka semua agar dapat mengambil banyak pekerjaan—walaupun bagi sejumlah orang, yang bisa jadi tengah membaca ini, dapat mengakui bahwa saya enggan melakukannya karena saya lemah di pelajaran IPA dan Matematika (bahkan saya lebih kurang syahwat dalam kedua bidang ini saat UN kemarin), saya lebih mempermasalahkan mengenai pekerjaan. Hal yang sama menjadi argumen pula bagi kawan-kawan saya ketika ditanya tentang alasan mereka ingin mengambil jurusan IPA. Mengenai hal ini, Karl Marx memaparkan teori yang sejajar dengan pemikiran saya; bahwa sebuah kaum buruh akan merasa teralienasi dengan apa yang mereka lakukan karena pekerjaan mereka tak sesuai hobi dan semangat mereka masing-masing, atau lebih tepatnya terlepas dari diri mereka masing-masing dan tak terasa pula manfaatnya langsung ke mereka semua, perlahan-lahan ini pula berbuah menjadi proses transisi revolusioner yang dimulai dari class awarenesssampai praksis. Saya berfikir demikian mengenai anak-anak ini, kawan-kawan saya, yang bisa saja terjadi nantinya (kecuali proses pra-revolusi tadi) ketika mereka mulai mengambil kursi di sebuah kubikel kantor, menunggu mereka dari jam pagi sampai sekitar waktu Maghrib atau pukul sembilan. Mengapa?
Lebih lumrahnya dapat difikirkan bahwa sebuah pekerjaan adalah suatuhal yang berasal dari hati batin kita masing-masing, mendetak dengan amat menggebu-gebu, bercampur semangat atau lebih layaknya dianggap sebagai sesuatu yang bersumber dari hobi, yang ingin Anda salurkan ke semua orang pula, atau mungkin dari kesadaran akan diri Anda masing-masing. Namun ketika semua itu bertempa di suatu jabatan kantoran, maka—menurut saya—hobi Anda terserahkan untuk hal-hal yang tak pernah Anda ketahui secara jelas apa; meski secara keseluruhan sekarang seseorang akan mengambil kerja di suatu tempat hanya semata karena ingin mendapatkan uangnya saja. Saya sempat menonton sebuah video dari Raditya Dika yang mengutarakan kisahnya sendiri, yang saya anggap sebagai sebuah contoh terbaik; dimana ia merasa gelisah dengan pekerjaannya di sebuah perusahaan karena tak melihat dampaknya langsung ke semua orang, sehingga ia menjadikannya sebagai sebuah inspirasi untuk film terbarunya kemarin.
Ini memang benar dalam pandangan saya. Namun apakah semua anak kini menyadari hal seperti itu? Sangat menguntungkan ketika minat baca anak muda di negara sekarang mulai meningkat namun melihat bagaimana ada sebuah contoh menakutkan seperti ini, masadepan negara dengan kepintaran cemerlang terlihat lumayan kelam karena bagaimanapun pentingnya kita menginginkan negara kita maju secara ekonomis dan keluar dari gelar mancanegara sebagai salah satu wilayah third-world dengan membangun fondasi-fondasinya yang independen, merancang teknologi milik kita sendiri, terlepas dari pengaruh asing lewat memulai sebuah startup (yang naasnya dapat berlangsung dengan langgeng sampai ada sebuah perusahaan asing mengakuisisi), mereka perlu mempelajari—secukup-cukupnya saja—mengenai, misalkan, Filsafat untuk mengasah pemikiran mereka agar menjadi lebih rasional dan peka dalam menghadapi masalah kenegaraan dan kemanusiaan, Ilmu Politik atau Kewarganegaraan untuk membangun semangat nasionalisme dan independensi dari tuntunan pemerintah dalam segalahal, serta Sejarah untuk memintarkan rakyat yang kini setengahnya telah buta terhadap masa lalu negara yang sebenarnya. Semua ini terjamini dengan jurusan IPS, yang merupakan kebalikan dari IPA.
Maka karena itu bagi kalian semua anak-anak berpotensi untuk jurusan IPA, sangat disayangkan! Ketika kalian semua berada di kursi kantor nanti, tengah mencoba untuk membaca between the lines uang masukan yang telah didapat perusahaan kalian, kita semua akan nantinya memajukan negara, dengan "mengintelektualkan" rakyat serta memimpin mereka kelak!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H