Opini, Surabaya- Ketika saya sedang membaca buku How Democracies Die karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, ada sesuatu mengejutkan saya dengan bagaimana mereka menjelaskan bagaimana matinya demokrasi salah satunya melalui indikator pemimpin otoriter. Walaupun secara eksplisit tidak terbesit memikirkan Indonesia pada jam-jam gabut saya itu, namun ketika bagaimana indikator ini dijelaskan betapa terkejutnya saya bahwa hal ini secara tidak langsung terkorelasi dengan Indonesia. Biasanya ketika saya melihat fenomena gerakan sosial atas apa kebijakan yang diambil pemerintah, biasanya saya akan skeptis dan melakukan penelaahan mandiri secara hukum terlebih dahulu seperti apa yang terjadi pada "Peringatan Darurat" sebagaimana pelanggaran yang kejam terhadap konstitusi. Hal tersebut maklum saja karena saya juga sedang menempuh S1 Hukum dan apalagi daripada terikut arus, alangkah baiknya saya memahami permasalahannya terlebih dahulu.
Ketika saya membaca buku tersebut, lantas saya langsung teringat bagaimana pembahasan Pemikiran Politik Barat dan Politik Islam di kampus yang sedang saya tempuh, tepatnya Aristoteles dan Al-Farabi. Mereka memiliki pandangan yang sendiri bagaimana idealnya sebuah negara atau dulu disebut Madinah pada pemikiran politik Islam. Berdasarkan pandangan filsuf ini membuka pemikiran saya bahwa cara pandang saya tidak boleh semata-mata melalui hukum saja, namun sangat perlu analisis secara politis. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu saya soroti mengapa demokrasi di negara ini bisa dikatakan sedang "sekarat".
Pada kasus ini dari semua pertanyaan yang dirumuskan pada setiap poinnya, ada beberapa belum bisa dikatakan memenuhi. Namun dengan hanya memenuhi salah satu atau lebih tanpa perlu memenuhi keempat indikator yang ada, sudah dikatakan sangat mengerikan bagi sebuah negara yang berdemokrasi seperti di Indonesia. Karena sejatinya pada negara demokratis satu saja indikator yang ada seharusnya tidak boleh terindikasi sama sekali.
Berdasarkan buku tersebut  ada dua dari empat indikator kunci perilaku otoriter yang mungkin jika dikorelasikan dengan kejadian di negara ini sangatlah bisa dikatakan demokrasi kita sedang "sekarat".Â
1. Penolakan atau Komitmen Lemah atas Aturan Main Demokratis
Pada buku ini, setidaknya dijelaskan beberapa rumusan pertanyaan sepertiÂ
"Apakah mereka menolak Konstitusi atau menunjukan kesediaan melanggarnya?"Â
Dengan membedah pertanyaan ini bisa kita lihat bagaimana kejadian belakangan ini. Ini tentu saja jelas menjadi fakta bagaimana keinginan DPR RI ingin mengakali Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengikat dan final dengan keinginan terbitnya RUU Pilkada. Hal ini secara pendek bisa dilihat bagaimana mereka (penguasa) menunjukan kesediaan melanggar putusan peradilan konstitusi tertinggi di negeri ini. Â
Rumusan pertanyaan yang keduaÂ
"Apakah mereka mengusulkan cara anti demokrasi seperti membatalkan pemilu, melanggar atau membatalkan Konstitusi, melarang organisasi tertentu atau membatasi hak asasi sipil atau politik?"Â
Faktanya di Indonesia Pemilu tetap digelar walaupun cenderung dipaksakan untuk serentak. Hilangnya pemerintah daerah yang legitimate karena selesainya masa jabatan setidaknya menjadi masalah bagi sebagian masyarakat. Sebut saja kasus bagaimana di DKI Jakarta yang masyarakatnya cenderung skeptis terhadap kinerja Heru Budi Hartono yang ditunjuk langsung tanpa pemilu sebagai PJ Gubernur DKI Jakarta. Hal ini juga melahirkan kontroversi karena penunjukan PJ Gubernur di sejumlah wilayah di Indonesia ini dianggap ada kepentingan tersembunyi ingin memenangkan salah satu Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.Â