Bertold Brecht pernah berkata “buta yang terburuk adalah buta politik, tidak berbicara dan tidak dapat berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tau bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu, dan obat semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak telantar, koruptor, politisi busuk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional.” Kutipan ini sangatlah cocok bagi kita yang mengidamkan negara demokratis yang jauh dari harapan dan hanya sekedar utopia saja mengingat banyak yang mengaku melihat politik, namun nyatanya buta politik.
Dalam menyambut perubahan politik, Pemilihan Umum 2024 atau yang biasa kita kenal Pemilu 2024 sebentar lagi akan tiba. Lantas apakah Pemilu tersebut benar-benar mencari pemimpin yang terbaik bagi negeri ini? Atau justru pemimpin yang tertrending?
Tidak bisa dipungkiri pertandingan popularitas antar calon presiden sangatlah besar. Bisa kita kelompokan menjadi 3 pendekatan. Pertama melalui pendekatan branding merakyat yang dilakukan oleh Ganjar Pranowo melalui akun media sosial TikTok yang diupload olehnya, kedua melalui pendekatan kebersamaan seperti yang dilakukan oleh Prabowo Subianto yang selalu berjoget setiap saat, ketiga pendekatan kekompakan sesama pasangan dilakukan oleh Anies Baswedan dan Cak Imin yang diunggahnya di media sosial.
Melalui indikator ini, bisa kita nilai bahwa nilai jual kapabilitas calon presiden dan calon wakil presiden kerap kali melenceng dari yang semestinya, terlebih lagi pada pemilu nanti sangat ditentukan oleh pemilih baru maupun swing voters. Tetapi apa yang dilakukan oleh calon tersebut tidak melakukan pendekatan politis, bahkan yang dilakukan hanya sekadar mencari ketenaran dan memenangkan pemilu. Hal ini sudah seharusnya menjadi ironi bagi kita bahwa pertarungan yang terjadi tidak pertarungan gagasan tetapi pertarungan "lawakan."
Ini baru sebatas pilpres, belum hingga pileg. Apakah masyarakat mengenal siapa yang akan dia pilih? Apa yang menyebabkan dia memilih seseorang tersebut? Apa terbosannya? Atau hanya sebatas ketenaran saja? Pertanyaan semacam ini semakin membuktikan bahwa penciptaan demokrasi di Indonesia hanyalah utopia belaka.
Hal ini tentu saja menjadi indikator bahwa tidak semua memahami apa yang terjadi, tidak semua dapat melihat kekurangan dan kesempatan dalam pelaksanaan demokrasi tersebut, sehingga demokrasi ini hanyalah sebuah kata "keren-kerenan" saja bagi para tokoh, para debator, para mahasiswa, para calon presiden, para calon legislatif hingga buku-buku sekolah yang ada.
Ini tentu saja menunjukan bahwa kualitas SDM mendorong demokrasi yang baik, lantas apakah SDM di Indonesia sudah baik? Tentu saja tidak, jangankan berbicara tentang pemilu, politik, dan hukum. Konsep dasar arti dari keadilan saja banyak yang menafsirkan "sama rata." Publik semakin terbodohi dengan kehadiran media sosial, mereka menutup bukunya demi mencari hiburannya tanpa sadar pembodohannya. Tingkat literasi sangat rendah melahirkan demokrasi yang rendah. Publik hanya menilai calon pemimpinnya melalui popularitasnya bukan kapabilitasnya.
Itulah kita, negara yang mengidamkan demokrasi, demokrasi yang sekadar utopia karena kebutaan politik warga negaranya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H