Mohon tunggu...
ramly amin simbolon
ramly amin simbolon Mohon Tunggu... -

Anggota Komisi Informasi Pusat (KIP) periode 2009 - 2013, tinggal di Bekasi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Subsidi BBM dan Rakyat Miskin

3 September 2014   18:10 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:44 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SEORANG ekonom , April tahun ini, menulis  tentang BBM. Menurut pakar  itu,  subsidi BBM  tak lagi sebatas membelenggu, merusak postur dan menambah ketidakpastian APBN, melainkan telah pula merongrong akun lancar (current account),  membuat semu tingkat laju inflasi,  menghambat diversifikasi energi yang ramah lingkungan, memicu penyeludupan BBM, dan melahirkan kebijakan-kebijakan yang semakin tidak rasional. Pendek kata, subsidi BBM telah  menjelma menjadi tumor ganas bagi perekonomian.

Berdasar pengalaman, kita yakin pendapat pakar ini tentulah tak perlu diragukan.  Pendapat itu  100 persen benar. Semakin membengkaknya subsidi BBM sudah menjadi hantu  menakutkan.

Subsidi BBM yang telah menjelma menjadi tumor ganas ini pulalah yang menjadikan Presiden Joko Widodo alias Jokowi menyatakan bersedia untuk tidak popular. Kesiapan untuk tidak popular ini dapat disimak melalui satu wawancara  khuus dengan tabloid KONTAN.

Subsidi BBM ini  memang menjadi tugas berat yang bakal dipikul pemerintahannya. Itu sebabnya, dia menyatakan siap mengerek harga BBM bersubsidi.  Ia menyatakan juga siap tak populer di mata rakyat lantaran menaikkan harga BBM demi menyehatkan fiskal negara. "Saya siap mengambil pahitnya, mau kotor-kotoran, dan tidak populer sekarang, asalkan selanjutnya Indonesia menjadi lebih baik." (Kompas.com 3/9-14).

Masalah subsidi  BBM ini juga menjadi fokus pembicaraan Presiden  SBY dan presiden terpilih Jokowi  pekan lalu di Bali.  Saat itu, tak sedikit memang n yang berteriak -- bahkan kalangan PDIP  yang tadinya dikenal sangat anti pada kebijakan menaikkan harga  BBM – mendesak pemerintahan SBY yang usianya tinggal dua bulan segera menaikkan harga  BBM. Tapi toh, SBY bergeming.

Menambah Jumlah Orang Miskin

Terlepas dari apa alasannya, keputusan SBY yang menolak desakan itu, patut dipahami. Kenyataan  memang tidak mudah. Persoalannya persis seperti tubuh seseorang yang dihinggapi tumor ganas. Ketika akan dioperasi atau dibuang, bagian-bagian tubuh lainnya penuh dengan penyakit. Semisal hipertensi, gejala jantung, diabetes…dst.  Operasi menjadi pilihan terakhir.

Itu sebabnya, kita bisa menyetujui  pendapat politisi PDI Perjuangan, Maruarar Sirait, yang keberatan jika pemerintahan Jokowi kelak menaikkan harga jual BBM.

Hitung-hitungannya  pasti. Setiap kenaikan harga jual BBM Rp 500.- / liternya, masyarakat butuh tambahan in come Rp65 ribu per bulan. Kenaikan sebesar itu  akan menambah jumlah orang miskin sebanyak 1.525.000 orang.  Juga menimbulkan inflasi sebesar 0,72 persen. Jika harga BBM dinaikkan sampai Rp 3000 per liternya, berapa pertambahan jumlah orang miskin di negeri ini? Apa yang terjadi pada  perekonomian nasional dengan inflasi 4,32 persen?

Tersimpul, betapa rapuh dan sakit-sakitannya tubuh republik ini. Padahal, jika kita fokus ke jumlah orang miskin saja, baru beberapa pekan lalu PBB menyarankan perlunya Indonesia menaikkan batas garis kemiskinan (BGK) yang menjadi patokan penghitungan berapa jumlah orang miskin di negeri yang ijo royo-royo ini.

Sebagai illustrasi, hasil pengukuran UNDP yang dilaporkan dalam Human Development Report 2013 – dengan menggunakan patokan (BGK) versi UNDP – ditemukan tingkat kemiskinan di Indonesia pada 2012 mencapai 22,8 persen. Sementara versi pemerintahan SBY hanya 12,5 persen (tahun 2014 bahkan turun lagi menjadi 11,25 persen atau 28,28 juta orang).

Artinya, jika Indonesia benar-benar mau menggunakan GBK yang sesungguhnya sesuai petunjuk UNDP, jumlah orang miskin sebenarnya sangatlah banyak, bisa dua kali lipat. Bahkan jika berani menggunakan patokan BGK di negeri-negeri maju –  toh pejabat kita sering tepuk dada menyamakan RI dengan negara-negara maju, masuk 10 besar ekonomi dunia  – jangan-jangan mayoritas dari 250 juta penduduk adalah orang miskin.

Kerja Keras dan Penghematan Lain

Dari gambaran seputar angka kemiskinan di atas, menjadi penting untuk dipertanyakan, masihkah saat ini relevan desakan mencabut subsidi BBM?

Kalau kita lihat postur RAPBN 2015, toh dari  jumlah Rp 2.019,9 triliun, subsidi energi hanya  Rp363,5 triliun atau 17,99 persen.  Sementara anggaran sektor lainnya – termasuk 20 persen untuk pendidikan -- mencapai 82,01 persen. Kita paham, di balik kebijakan subsidi BBM yang nota bene adalah subsidi untuk rakyat itu, ada sejumlah penyakit yang perlu diobati. Tapi bukankah masih banyak yang bisa dihemat dari anggaran sector lain?

Akan lebih bijak jika Presiden Jokowi mengubah mindset, darimeributkanbesaran subsidi untuk rakyat ke arah upaya menggenjot penerimaan negara  habis-habisan, dan melakukan efisiensi sebesar-besarnya. Kenapa ‘’kemewahan’’ yang dinikmati pejabat-pejabat dan birokrasi kita tak pernah diributkan?

Kerja keras, kerja keras, dan kerja keras. Itulah kuncinya. Itulah yang diharapkan makanya rakyat memilih Jokowi. Semoga. (ras)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun