Suatu hari, sekitar 6 bulan lalu, saat terjadi kenaikan harga cabe yang gila-gilaan, saya jumlah seorang insinyur lulusan IPB. Dia berkisah tentang temen kuliahnya yang sekarang kaya-raya dari hasil cabe. Ia pun menjelaskan strategi bisnis cabe yang dijalankan.
Dengan modal yang ada, dia belanja cabe dari berbagai daerah di sekitar Jawa Barat. Kemudian ia menjualnya di Pasar Induk Kramatjati. Dari selisih jual itulah ia mendapatkan keuntungan. Sedikit demi sedikit menjadi bukit. Ketika uang keuntungan sudah membukit, ia mengembangkannya lebih serius. Dibelikannya sebuah cold-storage. Singkat kata, sekarang dia sudah menjadi "player".
Dia sudah bisa menjadi pengepul hasil panen cabe dari sebagian besar wilayah tanam di sekitar Jawa Barat. Jangan tanya omzetnya, sudah miliaran rupiah. Bahkan dia sudah bisa "mengatur" kapan harga cabe turun, dan kapan naik. Termasuk, kapan harga cabe dilambungkan harganya setinggi langit. Prinsipnya dagang. Murni dagang. Akan tetapi, dagang tanpa nurani. Tidak peduli harga cabe selangit bikin rakyat menjerit.
Saya hanya menyimak saja cerita itu. Saya endapkan. Sama sekali tidak tertarik untuk mengikuti jejaknya. Sama sekali tidak tertarik dengan model usaha seperti itu. Menjadi seperti sekarang, si pedagang cabe tadi tentu sudah melewati aneka ujian. Menjadi seperti sekarang, dia tentu sudah berkorban. Bahwa kemudian dia berhasil sukses untuk ukuran dia, mungkin itu buah dari ketelatenan, keuletan, kecerdikan, dan usaha keras selama ini.
Yang muncul di benak adalah, bagaimana membuat pengusaha model ini tidak mendominasi dan merajalela. Membendung, tentu tidak mungkin. Meminta supaya menghentikan bisnis permainan harga cabe, lebih tidak mungkin. Selemah-lemahnya usaha adalah mendoakan, agar dibukakan pintu nurani tentang kemaslahatan orang banyak. Mudah-mudahan, makin besar empati terhadap rakyat kecil yang menjerit ketika harga cabe melangit.
Syahdan, dalam obrolan ringan di gardu ronda di komplek, saya usulkan kepada ketua RT. Usul yang sederhana, menanam cabe di pot rumah masing-masing. Pak RT ini seorang pensiunan. Dia gemar berkebun, dan ringan-tangan untuk mengerjakan apa-apa saja.
Dan benar, dia segera mencoba sendiri menyemai biji cabe hingga bertunas dan tumbuh menjadi bibit tanaman cabe. Ia semaikan di beberapa pot. Hingga suatu hari, saat berjumpa lagi, dia bilang, "Alhamdulillah, istri saya tidak pernah beli cabe lagi sekarang.... Tinggal petik...." Saya pun menyambut dengan mengucap "Alhamdulillah," disertai saran, "Bagaimana kalau pak RT menularkannya ke warga yang lain di komplek ini?"
Saya tahu, dia akan bergerak. Lebih yakin lagi ketika istri di rumah suatu hari bercerita, "Tadi pak RT datang, memberi saya bibit tanaman cabe." Berkata begitu, sambil dia menunjukkan tanaman cabe di tiga buah pot di halaman rumah yang tidak luas itu.
Sekitar tiga-empat bulan kemudian, "cabe tidak laku di komplek saya." Tetangga satu komplek setiap hari memetik cabe dari halaman rumah masing-masing. Tidak jarang, ibu-ibu berbagi hasil petikan cabe satu sama-lain.
Tibalah suatu hari saya yang mendatangi pak RT dan mengapresiasi usahanya "memandirikan warga komplek dari ketergantungan kepada penjual cabe". Dengan antusias dia bercerita tentang bagaimana senangnya ibu-ibu yang lepas dan tidak lagi terpengaruh dengan naik-turunnya harga cabe yang --antara lain-- dimainkan oleh pengusaha cabe seperti saya ceritakan di atas.
"Kendalanya, ketika usia tanaman cabe lebih enam bulan, hasilnya tidak lagi bagus. Jadi, saya sudah mulai menyemai bibit-bibit baru, untuk mengganti tanaman cabe yang sudah lebih dari enam bulan, atau yang sudah mulai tidak produktif," ujar pak RT masih dengan semangat tinggi. Sekali lagi, saya bersyukur, budidaya swasembada cabe di komplek kiranya bakal langgeng. Alhamdulillah. ***