Mohon tunggu...
Rama Romeo
Rama Romeo Mohon Tunggu... -

memandang dari sudut yang berbeda

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Generalis vs Spesialis dalam “Kasus HP”

25 Mei 2015   00:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:38 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah obrolan ringan seputar kasus yang melilit mantan dirjen pajak, Hadi Poernomo, ternyata begitu sederhana. Setidaknya, jika kasusnya diletakkan pada dasar hukum pengenaan pasal korupsi terhadapnya.

KPK dalam menetapkan HP sebagai tersangka, nyata-nyata menerapkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001. Pasal 2 ayat (1) mencantumkan ancaman pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dengan denda paling sedikit Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar.

Sedangkan, asas hukum Lex Specialist derogat Lex Generalist. Artinya, perundang-undangan yang lebih khusus, mengesampingkan hukum (perundang-undangan) yang bersifat umum.

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 32 Tahun 2009 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah Lex Generalis karena lebih umum dalam mengatur Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di bidang Perpajakan.

Sedangkan Undang-Undang Perpajakan adalah Lex Specialist karena kasus yang dituduhkan adalah Tindak Pidana Korupsi di bidang perpajakan sehingga kasus HP akan diuji dan dibuktikan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku untuk Tahun Pajak 1999 yaitu Undang-Undang KUP Nomor: 9 Tahun 1994 dan Undang-Undang PPh Nomor 10 Tahun 1994, apakah benar ada penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan prosedur sehingga memperkaya diri sendiri atau orang lain atau Badan dan menimbulkan kerugian bagi negara.

Nah, dalam Undang-Undang Perpajakan sudah mengatur masalah Keberatan ke Direktur Jenderal Pajak, Banding ke Pengadilan Pajak, dan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.

Hak mengajukan permohonan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB); Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT); Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB); Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN); dan Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dijamin oleh Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Pasal 25, bilamana WP berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak adalah tidak semestinya maka WP dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak

Perbedaan pendapat atas jumlah pajak dan/atau beda panfsiran atas suatu peraturan perundang-undangan perpajakan antara WP dan Fiskus adalah bukan merupakan tindak pidana yang kemudian dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum dalam tindak Pidana Korupsi, oleh karena itu ketentuan Pasal 25 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menjamin WP untuk mengajukan Hak Keberatan hanya kepada Dirjen Pajak.

Bahwa kata “hanya” di sini mengartikan, dalam hal penyelesaian Keberatan hanya Dirjen Pajak yang diberikan wewenang oleh UU KUP untuk menyelesaikannya. Dengan demikian para Direktur di Ditjen Pajak tidak punya wewenang untuk menyelesaikan keberatan, baik dengan menolak atau menerima permohonan Keberatan dari WP.

Pertanyaannya pun menjadi sangat sederhana (pula). Yakni, bagaimana mungkin seorang pejabat dinyatakan bersalah atas keputusan yang dibenarkan oleh Undang-Undang (Ketentuan Umum Perpajakan)?

Sesederhana itu. Kecuali, jika kita hendak memanjang-manjangkan pertanyaan. Maka pertanyaan ikutannya bisa menjadi, “Ada motif apa di balik penetapan HP sebagai tersangka”? Atau lebih tajam lagi, “Atas pesanan siapa, HP harus ditersangkakan?” Atau bisa juga, “Untuk tujuan politik apa, sehingga HP harus dikorbankan?”.

Deretan pertanyaan ini masih bisa sangat panjang, jika kita menengok kiprah HP yang bisa dinilai “terlalu sering” berbenturan dengan sejumlah orang penting di negeri ini. Bahkan berbenturan langsung dengan negara adidaya seperti Amerika Serikat, yang kita tahu memiliki “kaki-tangan” dalam di jajaran elite negeri. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun