Mohon tunggu...
Rama Romeo
Rama Romeo Mohon Tunggu... -

memandang dari sudut yang berbeda

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Berkendara Hemat Tanpa SIM?

25 Maret 2015   07:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:05 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah? Pameo ini masih melekat pada sejumlah oknum Kepolisian RI, khususnya yang bertugas di Samsat Daan Mogot, Jakarta Barat. Untuk menjadi pengemudi yang baik saja, sangat sulit. Dan ini kisah tentang keponakan yang uring-uringan karena "gagal test" ujian SIM.

Dia seorang sarjana hukum, berusia sekitar 25 tahun. Bersepeda motor sudah sejak duduk di bangku SLTA. Orangtuanya sudah membelikannya sepeda motor ketika usianya menginjak 17 tahun, batas usia minim seorang warga negara boleh mengantongi SIM (Surat Izin Mengemudi). Singkat kata, alinea ini hanya untuk menjelaskan, betapa keponakan saya ini memiliki intelektualitas yang cukup (kalau hanya sekadar menjawab 30 soal test tertulis), dan memiliki keterampilan mengemudikan sepeda motor (mulai dari motor bebek, sampai motor laki 200-an CC).

Saya menanggapinya, "Wajar kalau dia uring-uringan." Dia merasa tidak diperlakukan sebagai warga negara yang baik. Keinginan menghidupkan SIM (yang sudah mati) melalui jalur yang benar, ternyata justru sulit. Sebaliknya, pengguna jasa (biro jasa) ataupun kasak-kusuk lewat oknum orang dalam bertarif Rp650.000,- bisa begitu lancar dan mudah.

"Dari satu kelas yang ikut ujian, lebih separuh dinyatakan tidak lulus test tertulis. Aneh! Okelah dinyatakan tidak lulus, tapi kasih dong lembar jawaban dan tunjukkan jawaban mana yang salah. Ini benar-benar konyol. Dibilang soal 30 hanya benar 13, tetapi lembar jawaban tidak dikasih. Padahal untuk test itu sudah bayar dua puluh lima ribu. Bukankah itu termasuk untuk membayar lembar jawaban," katanya bersungut-sungut.

Sempat saya tanggapi, "Kamu kan sarjana hukum, mengapa tidak persoalkan? Setidaknya, minta dong lembar jawaban, dan tuntut petugas untuk menunjukkan lembar jawabanmu. Konfirmasikan, mana jawaban-jawabanmu yang salah."

"Malas.... Yang ada saya makin dongkol."

"Jadi, harus ujian lagi?"

"Iya, tapi malas ahhh.... tidak enak di kantor.... Kemarin itu sudah saya sempat-sempatkan izin kantor untuk mengurus SIM, eh ternyata parah."

"Lha, trus? Tidak jadi urus SIM."

"Tar aja urus kalau praktik percaloan terselubung sudah habis. Atau entar aja, kalau urus SIM sudah sistem online."

"Jadi, bagaimana kalau ada cegatan?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun