Mohon tunggu...
Rama Romeo
Rama Romeo Mohon Tunggu... -

memandang dari sudut yang berbeda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ahok Sedang "Balas-Dendam"?

8 Maret 2015   12:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:59 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Makin menarik saja menyimak sepak-terjang Gubernur Ahok. Sebenarnya "ada apa" di balik penampilannya yang ganas-menarjang, konfrontatif, bicara kasar, dan terkesan arogan itu?

Dari bincang-bicang ringan saat rehat kerja di kantin kantor, saya petikkan sejumlah pendapat yang bisa tersimpulkan. Pertama, dari sudut psikologis, perangai pemarah dan meledak-ledak, sadar-atau-tidak-sadar, sejatinya untuk menutupi sisi lemah yang ada pada dirinya. Sisi lemah apa? Pelempar wacana itu melempar sejumlah kemungkinan: Bisa saja lemah di hadapan istri (menurutnya, ini paling dominan).Sungguh, bincang-bincang ini terjadi sebelum meluncur berita bahwa istri Ahok (Veronica) didampingi anaknya, memimpin rapat di kantor suaminya, yang diikuti sejumlah kepala dinas dan pejabat lain di DKI. Konon sih, membahas soal bisnis. Apakah ini menjadi pembenar atas analisa karakter dari sudut psikologis tadi? Entahlah.

Bisa juga lemah dari segi kinerja (terbukti penyerapan APBD yang sangat-sangat rendah. Rendahnya realisasi APBD, apa pun dalihnya, adalah nilai merah bagi seorang pejabat pemerintah daerah). Nalarnya begini, jika APBD yang telah disusun berdasar rencana pembangunan tadi bernilai 100 triliun, kemudian hanya terserap 60 triliun, maka ada dana sebesar 40 triliun yang tidak terserap. Itu artinya,pembangunan buat rakyat Jakarta senilai 40 triliun tidak terlaksana.

Adakah kemungkinan lain? Nah, ini yang paling menarik. Seorang teman yang cenderung pendiam (tapi kami tahu, dia smart), tiba-tiba angkat bicara dengan nada datar, "Bisa jadi Ahok sedang balas-dendam". Kami semua terperangah. Satu-dua teman kontan minta dia menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud "balas-dendam" dalam konteks perangai Ahok itu.

Cukup panjang lebar ia menguraikan. Akan tetapi esensinya adalah, sejak Orde Baru berkuasa hingga puncaknya pada kerusuhan 1998, etnis Tinghoa selalu terpinggirkan, atau bahkan cenderung dipinggirkan. Baru di kepemimpinan Gus Dur, etnis ini sedikit terdongkrak eksistensinya. Meski begitu, masih jauh dengan era Bung Karno, di mana etnis sama sekali bukan persoalan penting, sehingga tercatat banyak sekali menteri dan pejabat negara, bahkan pejabat politik dari etnis Tionghoa.

Dia menguraikan, etnis yang satu ini, sejatinya paling tipis kadar nasionalismenya. Mereka adalah sebuah etnis yang sangat menjunjung tinggi leluhur. Pernah ingat bagaimana Liem Sioe Liong, Eka Tjipta Widjaja, dan sejumlah taipan lain yang menanamkan sebagian (besar) kekayaannya di Tiongkok? Itu bukti bahwa etnis yang satu ini, "ada di mana-mana, tetapi sejatinya tidak kemana-mana".

Etnis Tionghoa di Jakarta, paling banyak menderita kerugian (tidak hanya harta, tetapi juga kehormatan) saat kerusuhan Mei 1998. "Kapan lagi seorang etnis Tionghoa bisa mempermalukan, memaki-maki etnis non-Tionghoa tanpa ada yang berani melawan (karena dia seorang atasan)?" Lihat saja, Ahok mudah sekali bicara "pecat", "mutasi", dan sejenisnya bagi para pejabat di lingkungan Pemda DKI Jakarta. Ribuan pejabat dalam waktu singkat digeser-geser posisinya.

Bagaimana mungkin sebuah birokrasi yang demikian tambun lagi lambat, serta cenderung korup dan sarat praktik KKN itu diterapi dengan cara radikal dan ugal-ugalan seperti itu? Mestinya dia bisa mencontoh salah seorang pejabat daerah yang sangat efektif memimpin daerahnya.

Pertama, dia membersihkan diri dari semua praktik tidak benar apalagi penyalahgunaan wewenang (kebetulan dia sudah kaya-raya secara materi sebelum menjabat). Kedua, dia lobby aparat penegak hukum daerah, dan menyatakan, "Saya tidak mentolerir praktik korupsi. Jika ada pejabat saya terindikasi korupsi dan penyalahgunaan wewenang, silakan selidiki, silakan sidik, dan silakan diproses secara hukum." Ketiga, dalam audit BPK dan BPKP, kepada auditor pun dia menantang, "Kalau tidak salah, peraturan menyebutkan, jika dalam pemeriksaan ditemukan indikasi pelanggaran hukum atau korupsi, BPK harus melimpahkannya ke aparat penegak hukum. Nah, dalam soal itu, tolong prioritaskan. Saya ingin mendukung pemerintahan yang bersih."

Apa yang terjadi? Satu per satu kepala dinas dicokok polisi dan kejaksaan. Bupati dalam statemen media berkata normatif, "Biarkan aparat penegak hukum bekerja. Kita serahkan semua pada proses hukum. Kami menghargai proses hukum."

Tahun kedua, daerah itu meraih predikat opini WTP dari BPK, dan saat ini menjadi satu-satunya daerah tingkat dengan pertumbuhan APBN hampir 100 persen, dan penyerapan anggaran mendekati sempurna, 94 persen. Jadilah daerah itu maju dan makmur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun