Mohon tunggu...
Rama Romeo
Rama Romeo Mohon Tunggu... -

memandang dari sudut yang berbeda

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Alon Kelakon, Asal Kumpul

8 Maret 2015   19:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:59 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menarik juga berbincang semalaman dengan rekan lama yang ternyata sekarang berprofesi sebagai dalang wayang kulit (bukan dalang kerusuhan....hehehehe). Dari bangku sekolah dulu saya yakin benar, kawan satu ini menaruh perhatian yang sangat besar terhadap budaya Jawa. Beberapa kali saya terpaksa harus menanggung rasa "tidak-enak" karena berbohong, hanya untuk menghindari ajakan dia menyaksikan pertunjukan wayang kulit (yang saya tahu bakal semalam suntuk, alias pulang pagi).

Sukurlah, dalam kesempatan jumpa tempo hari, saya berkesempatan meminta maaf dan berkata jujur atas kebohongan saya dulu, untuk menghindar dari ajakan nonton wayang kulit semalam suntuk. Dia hanya tertawa (dan kukira --semoga saja-- memaafkan).

Awalnya saya mengritik falsafah Jawa "alon-alon waton kelakon" dan "mangan orang mangan, kumpul". Dengan gayanya yang arif dan bijaksana, dia menyanggah kritikan saya itu. Dia mencoba menjelaskan kedalaman makna yang terkandung dalam falsafah Jawa tersebut.

"Alon-alon waton kelakon", secara harfiah artinya "pelan-pelan asal terlaksana". Ia menambahkan, falsafah itu harus dikaitkan dengan kalimat di depannya, "kebat keliwat, alon-alon waton kelakon", yang artinya, (daripada) cepat (tapi) kebablasan, (lebih baik) pelan tetapi tercapai/terlaksana".

"Banyak yang kemudian penekanan titik-pandang pada kata alon-alon, bukan pada kelakon. Di sini letak kekeliruannya," ujar kawan ini seraha membeber lebih jauh. Falfasah itu justru menekankan pada unsur "kelakon" atau tercapai, terlaksana. Jika titik pandang diletakkan pada kata "kelakon" niscaya, pemaknaan "alon-alon" menjadi berbeda, bukan sekadar "pelan-pelan" melainkan mengandung pengertian "teliti, cermat, dan hati-hati" dalam mengerjakan sesuatu, sehingga tercapai atau terlaksana apa yang dikerjakan.

Sama halnya peringatan "kebat keliwat", harus dimaknai bahwa pekerjaan yang dilakukan dengan cepat, umumnya dilakukan dengan terburu-buru. Jika dikupas lebih jauh, potensi dari "kebat-keliwat" adalah, kebablasan yang bisa diartikan menabrak aturan, norma, atau bahkan mengandung risiko "terjatuh".

Akan halnya falsafah "mangan ora mangan, kumpul". Ia prihatin, bahwa tidak sedikit generasi muda keturunan Jawa yang bahkan secara terang-terangan, mengritik falsafah leluhur itu dengan mengatakan, "Sekarang bukan zamannya lagi kita berprinsip 'makan-tidak-makan yang penting kumpul'. Kita harus mengubah falsafah itu menjadi 'kumpul-tidak-kumpul, yang penting makan'. Ini sungguh memprihatinkan," katanya.

Falsafah "mangan ora mangan kumpul" itu jika diresapi dan dimaknai secara mendalam, justru mengandung ajaran yang sangat luhur, yakni hakikat pentingnya bersilaturahmi. Kata "kumpul" itu maknanya silaturahmi. Silaturahmi bisa sesama keluarga, keluarga besar, atau bersama handai-taulan dan kerabat lain. Ajaran itu mengedepankan pengutamaan silaturahmi dibanding "makan-makan".

Makan, mengandung filosofi dasar pemuasan akan rasa lapar. Terjemahannya bisa pemuasan atas dahaga, pemuasan atas nafsu, pemuasan atas kebutuhan yang bersifat pribadi. Hal-hal ini harus disingkirkan, jika pilihannya adalah bersilaturahmi.

"Kamu Islam kan?" tanya dia tiba-tiba. Saya sempat kaget, "Apa hubungannya?" Dia pun membeber, "Carilah tahu dalam kitab Alquran dan hadist nabi tentang keutamaan silaturahmi, dan kecelakaan bagi yang memutus tali silaturahmi." Dia pun menambahkan, dengan silaturahmi, Islam mendoakan umatnya agar insya Allah dipanjangkan usianya, dimudahkan segala urusan di dunia, dan dilancarkan rezeki (halal)-nya.

Dini hari itu, saya pulang ke rumah dengan kecamuk pikir yang tak habis-habis. Memikirkan "wejangan" kawan barusan. Hingga saya menuliskannya di kompasiana ini, "wejangan" tadi sudah mulai mengendap, dan pelan-pelan menggeser kritik yang sempat saya lontarkan terhadap dua falsafah Jawa yang (ternyata) adiluhung itu. Terima kasih, kawan.... ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun