Konflik antara res privata dan res publica sering kali muncul ketika individu merasa bahwa beban pajak terlalu berat atau tidak sebanding dengan manfaat yang diterima. Oleh karena itu, negara harus memastikan bahwa sistem pajak dirancang secara adil dan transparan, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Mengapa Globalisasi dan Ketimpangan Ekonomi Menjadi Tantangan Perpajakan?
Globalisasi membawa tantangan baru bagi sistem perpajakan. Modul ini mengacu pada karya-karya seperti The End of the End of Ideology oleh Daniel Bell dan The End of History and the Last Man oleh Francis Fukuyama untuk menggambarkan bagaimana globalisasi memengaruhi kebijakan pajak. Ekonomi global, investasi lintas negara, dan digitalisasi menciptakan tantangan dalam menetapkan objek pajak yang adil dan merata.
Dalam konteks Indonesia, sistem dan lingkaran ekonomi yang melibatkan sektor 2, 3, dan 4 menjadi perhatian utama. Persamaan pengeluaran agregat (aggregate expenditure) yang dihitung sebagai AE = C + I + G + NX (konsumsi rumah tangga, investasi, pengeluaran pemerintah, dan ekspor bersih) menunjukkan pentingnya pajak dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Pajak harus mampu beradaptasi dengan dinamika global sambil tetap melayani kepentingan nasional.
Tantangan globalisasi juga mencakup penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional yang memanfaatkan celah hukum internasional. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan kerjasama internasional dan penerapan regulasi yang lebih ketat untuk memastikan bahwa setiap entitas ekonomi, baik lokal maupun global, berkontribusi secara adil terhadap pendapatan negara.
Ketimpangan ekonomi juga menjadi salah satu isu utama yang dibahas. Thomas Piketty, dalam Capital in the Twenty-First Century, menyoroti bahwa return on equity sering kali lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi. Hal ini menyebabkan konsentrasi kekayaan pada segelintir individu, sementara mayoritas masyarakat tetap tertinggal.
Di Indonesia, ketimpangan ini tercermin dari dominasi ekonomi Jawa-Bali yang mencapai 87% dari PDB nasional. Sementara itu, daerah lain seperti Sumatra dan Kalimantan hanya memberikan kontribusi kecil. Redistribusi pajak melalui pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan di daerah-daerah tertinggal menjadi solusi untuk mengurangi ketimpangan ini. Modul juga mencatat bahwa belanja negara untuk perlindungan sosial hanya 0,0044% dari PDB, jauh lebih rendah dibandingkan subsidi BBM, yang menunjukkan prioritas yang perlu diperbaiki.
Ketimpangan ini juga terlihat dalam ketidaksetaraan akses terhadap fasilitas publik. Pajak yang dikelola dengan baik seharusnya dapat menjadi alat untuk menciptakan pemerataan, baik dari segi ekonomi maupun sosial. Negara perlu memastikan bahwa alokasi pajak dilakukan secara transparan dan efektif agar manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Salah satu tantangan terbesar adalah rendahnya tax ratio Indonesia, yang hanya mencapai 7,9% pada tahun 2020, jauh di bawah rata-rata OECD sebesar 21%. Hal ini mencerminkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam mengelola pajak. Masyarakat sering kali merasa bahwa pajak tidak dialokasikan secara efektif untuk meningkatkan kesejahteraan umum.
Didalam Modul ini mengkritisi kebijakan seperti tax amnesty, yang meskipun meningkatkan penerimaan pajak jangka pendek, tidak mampu meningkatkan kepatuhan pajak jangka panjang. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan memastikan bahwa pajak benar-benar digunakan untuk kepentingan publik, seperti pembangunan fasilitas kesehatan dan infrastruktur di daerah terpencil.
Kurangnya edukasi tentang pentingnya pajak juga menjadi faktor yang memengaruhi kepatuhan masyarakat. Banyak individu yang masih belum memahami bagaimana pajak yang mereka bayarkan digunakan untuk mendukung berbagai program pemerintah. Oleh karena itu, kampanye publik yang lebih intensif diperlukan untuk meningkatkan kesadaran akan peran pajak dalam pembangunan nasional.