B. Memperhatikan Peran Lingkungan Bisnis dan Profesional dalam Mendorong atau Memfasilitasi Kejahatan
Lingkungan bisnis dan profesional memainkan peran penting dalam memfasilitasi atau mencegah peluang korupsi. Dalam banyak kasus di Indonesia, hubungan antara pejabat publik dan sektor swasta menciptakan ladang subur untuk praktik korupsi. Salah satu bentuk paling umum adalah pemberian suap oleh pengusaha kepada pejabat pemerintah untuk memenangkan proyek atau mendapatkan izin usaha.
Kondisi ini diperburuk oleh kelemahan sistem pengawasan dan transparansi. Sebagai contoh, proses pengadaan barang dan jasa yang tidak transparan memberikan peluang bagi pejabat untuk memanipulasi tender demi keuntungan pribadi atau kelompok. Dalam banyak kasus, harga proyek digelembungkan, kualitas barang yang disediakan tidak sesuai standar, atau proyek dikerjakan oleh kontraktor yang tidak kompeten karena memenangkan proyek melalui jalur tidak sah.
Namun, lingkungan profesional yang menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dapat secara signifikan mengurangi peluang korupsi. Di Indonesia, penerapan sistem digital seperti e-procurement telah membantu meminimalkan manipulasi dalam proses pengadaan barang dan jasa. Sistem ini memungkinkan pengawasan yang lebih baik dan mengurangi interaksi langsung antara pihak swasta dan pejabat publik, yang sering kali menjadi sumber korupsi.
Meskipun demikian, penerapan teknologi saja tidak cukup jika tidak diikuti dengan perubahan sikap dan budaya di lingkungan kerja. Banyak pihak yang diuntungkan oleh sistem manual sering kali menolak perubahan menuju transparansi. Oleh karena itu, diperlukan komitmen yang lebih besar dari semua pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, untuk menciptakan lingkungan profesional yang mendukung integritas.
C. Menekankan Perlunya Sanksi yang Tepat sebagai Sarana Efektif untuk Memberikan Efek Jera
Efek jera adalah salah satu tujuan utama dari sistem peradilan pidana. Namun, dalam banyak kasus korupsi, pelaku sering kali menerima hukuman yang ringan, bahkan ketika kejahatan mereka melibatkan kerugian negara yang besar. Kondisi ini menciptakan persepsi bahwa korupsi adalah kejahatan yang "tidak terlalu berisiko" dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh pelaku.
Dalam teori Sutherland, pelaku kejahatan kerah putih sering kali tidak merasa bersalah atas tindakan mereka. Mereka cenderung melihat korupsi sebagai bagian dari sistem atau prosedur normal yang harus diikuti. Sikap ini diperkuat oleh lemahnya penegakan hukum dan hukuman yang tidak konsisten. Di Indonesia, banyak pelaku korupsi yang berstatus tinggi, seperti pejabat pemerintah atau pengusaha besar, hanya menerima hukuman ringan atau bahkan bebas setelah menjalani masa hukuman singkat.
Untuk menciptakan efek jera yang nyata, sanksi terhadap pelaku korupsi harus bersifat tegas, adil, dan konsisten. Selain hukuman penjara, sanksi harus mencakup pengembalian kerugian negara, pembekuan aset yang diperoleh melalui korupsi, dan larangan bagi pelaku untuk menduduki jabatan publik di masa depan. Hukuman yang tegas tidak hanya penting untuk menghukum pelaku tetapi juga untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.
Dalam beberapa tahun terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mencoba memperkuat efek jera melalui penyitaan aset dan transparansi proses hukum. Namun, upaya ini sering kali terhambat oleh campur tangan politik atau kurangnya dukungan dari institusi terkait. Oleh karena itu, reformasi menyeluruh dalam sistem hukum dan pengawasan diperlukan untuk memastikan bahwa pelaku korupsi mendapatkan hukuman yang setimpal dengan dampak kejahatan mereka.
D. Mengidentifikasi Kelompok Sosial yang Terlibat dalam Jaringan dan Hubungan yang Memfasilitasi Tindakan Koruptif