Mohon tunggu...
Rama
Rama Mohon Tunggu... lainnya -

anak laki-laki dari tiga bersaudara berdarah minang dan besar di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fashion dan Kebudayaan Daur Ulang, Massa Akhir Peradaban Homo Sapiens

7 Maret 2015   13:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:01 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dick Hebdige didalam Subculture = The Meaning of Style, membuat kajian semiotik tentang fenomena fashion pada subkultur. Ia mengemukakan fashion yang dikembangkan oleh subkultur (Hippies, Teddy Boys, Punk dan sebagainya) merupakan satu bentuk penggunaan tanda-tanda secara subversif dan ironik, yaitu melalui pencurian citraan yang sudah mapan. Sebagai tanda, fashion pada subkultur mempunyai 2 (dua) fungsi semiotik, yaitu (1) sebagai upaya differensi atau membangun identitas diri, poin pertama sudah menjadi hal yang lumrah bagi banyak orang, karena manusia di era postmodernisme saat ini sering sekali mempertonjolkan fashionnya sebagai upaya untuk meningkatkan eksistensinya belaka, misalnya, ketika anak konglomerat sedang menonton pacuan kuda bersama teman-teman konglomeratnya. Pastilah pakaian, dan dandanannya akan mencolok dan eksotis. Hal-hal tersebut dilakukan untuk menampilkan fashion konglomeratnya kepada masyarakat, sehingga masyarakatpun tanpa bertanya sudah mengetahuinya bahwa sekelompok wanita itu adalah orang-orang berada (maksudnya kaya harta dan keturunan ningrat), dan (2) sebagai suatu bentuk daur ulang. Poin kedua telah menjadi budayabaru pada peradaban timur. Banyak negara-negara timur yang mendaur ulang kembali citraan dan bentuk fashion dari negara-negara barat. Seperti westernisasi dan amerikanisasi seakan telah menjadi budaya baru bagi negara timur, khususnya adalah negara Indonesia, jika dilihat saat ini generasi mudanya jadi memiliki life style yang kebarat-baratan. Mengapa?

Fashion pada masyarakat memang tidak bisa menjadi tolak ukur kemajuan suatu negara, karena fashion hanyalah sebuah penanda jati diri masyarakat. Tetapi jati diri masyarakat sangat erat kaitannya dengan ciri budaya Negaranya, dansudah menjadi rahasia umum pada abad ke-21, fashion yang telah berkembang di mancanegara adalah fashion daridunia barat. Fashion barat didaur ulang kembali oleh peradaban timur. Ironiknya peradaban timur sudah mulai terbiasa untuk mendaur ulang secara terus-menerus fashion dari peradaban barat. Sehingga disadari atau tidak, sistem sosial pada peradaban timur akhirnya menjadi terdistorsi dari nilai-nilai kebudayaannya,

Paradigma fashion kebudayaan barat merupakan paradigma baru yang berkembang, sebuah doktrinasi yang tersistematis, yang masuk pada mindset masyarakat untuk mencintai sebuah tanda-tanda, benda-benda, dan citraan-citraan. Fashion budaya barat yang dikonsumsi oleh budaya timur memiliki dampak kecintaan terhadap hal-hal yang matrealistis. Hal-hal inilah yang membuat masyarakat konsumer semakin berkembang dengan pesat, dalam hal ini, masyarakat konsumer tidak lagi mengentrol objek-objek, akan tetapi, sebaliknnya dikontrol oleh sistem objek-objek. Sehingga masyarakat hidup dengan fashion mengkonsumsi suatu barang yang tiada hentinya, dan konsumsi ini menurut Baudrillard dikendalikan oleh apa yang disebutnya logika hawa nafsu.

Gilles Delleuze dan Felix Guattari didalam bukunya Anti Oedipus : Capitalism and Schizoprenia, mengungkapkan hawa nafsu didalam masyarakat kapitalisme diproduksi oleh apa yang disebutnya mesin hawa nafsu. Masyarakat dipacu untuk terus merangsang logika hawa nafsunya, sehingga didalam dirinya tercipta sebuah mesin hawa nafsu yang sudah tidak bisa lagi dikontrol oleh akal sehat manusia, dan akhirnya mereka hanya mendapatkan kesenangan-kesenangan sementara. Kesenangan-kesengangan yang semu oleh kecintaanya terhadap objek-objek, benda-benda, & citraan-citraan. Akhirnya masyarakat konsumer lebih menginginkan hal-hal yang instan, yang super cepat, yang tiada hentinya.Sementara makna, falsafah dan ideologis sudah tidak lagi menjadi sandaran atau pedoman hidup mereka. Karena mereka menganggap makna, falsafah, dan ideologis hanya menjadi sekat yang menganggu hidup masyarakat konsumer untuk berkreasi.

Akhirnya peradabanpun membuat mereka lebih menginginkan kaya dibandingkan cerdas, lebih menginginkan memiliki teknologi yang up to date dibandingkan memiliki moral yang baik, dan lebih ingin melakukan sex bebas dan eksploitasi harga diri dibandingkan menjadi manusia yang teladan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun