"sandang, pangan dan Wifi" menjadi istilah yang sangat populer akhir-akhir ini. Bagaimana tidak, berkembangnya teknologi, informasi dan komunikasi begitu pesat di negara kita tercinta ini Negara Kesaturan Republik Indonesia. Perkembangan ini bukan suatu opsi yang harus memilih apakah mengikuti perkembangan zaman atau sebaliknya. Tidak! Justru perkembangan zaman ini suatu keniscayaan. Artinya mau tidak mau, suka atau tidak suka menjadi suatu keharusan.
Melansir Data Reportal, di tahun 2023 ini terdapat 167 juta pengguna media sosial. 153 juta merupakan pengguna diatas usia 18 tahun, yang merupakan 79,5% dari total populasi. Waw!. Â Tidak hanya itu lho tum. Sebesar 78,5% pengguna internet diperkirakan menggunakan paling tidak satu buah akun media sosial.
Seiring dengan hadirnya perkembangan teknologi, menggunakan media sosial menjadi bagian dari kehidupan. Dimulai dari melakukan pekerjaan, pembelian makanan, menjual suatu barang, memesan gojek, pembayaran kuliah, penggunaan jasa dan lain sebagainya. Maka tidak heran, terkadang seseorang dapat melihat, menilai dan memberikan stigma kepada orang lain hanya dari media sosial yang biasa kita kenal dengan istilah Background Check dari media sosial.
Lalu, apakah Media Sosial merupakan representasi seseorang ?
Dari beberapa literatur yang telah dijelajahi penulis, Â bahwa kita tidak dapat terburu-buru memberikan penilaian, stigma dan pandangan bahwa orang orang lain merupakan orang baik atau buruk. Meskipun media sosial memberikan kesempatan yang lebar kepada kita semua, dimulai dari membagikan momen-momen, ekspresi dan pemikiran. Yang dimana dapat memudahkan orang lain untuk menyelidiki atau mengamati kehidupan orang tersebut.Â
Namun tidak mungkin orang-orang memberikan seluruh aspek kehidupannya di media sosial. Tentu ada beberapa bagian yang disensor, dipilih dan difilter. Hal ini bertujuan untuk memberikan citra kepada khalayak terkait persoalan konsep diri. Sehubungan dengan hal tersebut. Media Sosial merupakan representasi seseorang sepenuhnya tidak dapat dibenarkan atau keliru.
Banyak kok penulis menemukan di media sosial, bahwa seseorang yang telah memposting kuliner atau ngopi di kafe bukan karena ia menyukai kuliner atau kopi tersebut. Melainkan untuk meningkatkan status sosial orang tersebut.
apakah bijak menilai seseorang hanya dilihat dari medsos ?
Sekalipun media sosial memberikan informasi kepada khalayak luas. Kebenaran informasi itu perlu dipertanyakan. Momen-momen yang ia posting di akun media sosialnya merupakan dasar pertimbangan terkait diri pribadi yang ingin di proyeksikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa menilai seseorang dilihat dari Media Sosial bisa dikatakan tidak bijak dan kesimpulan yang dangkal.
Bagaimana menurut kamu ? ada pendapat lain? Tulis di kolom komentar yuk!