Mohon tunggu...
Rama FatahillahYulianto
Rama FatahillahYulianto Mohon Tunggu... Administrasi - Young

Menjadi penyalur informasi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kontroversi Pemerkosaan dalam Perkawinan (Marital Rape)

7 Juli 2020   12:05 Diperbarui: 7 Juli 2020   12:17 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelecehan dan Kekerasan seksual merupakan pelampiasan nafsu birahi oleh seorang pria terhadap sang korban yang biasanya terjadi menimpa wanita, kekerasan seksual yang selanjutnya disebut pemerkosaan merupakan pemaksaan terjadinya hubungan seksual terhadap wanita tanpa adanya persetujuan atau tanpa disadari oleh sang korban tadi. Memang hal yang sangat tabu untuk dibahas, terlebih jika membahasnya di sidang pengadilan, yang mengharuskan sang korban menjelaskan sedetail mungkin atas kejadian yang menimpa dirinya. Penderitaan korban tidak selesai sesaat setelah kejadian seks yang mengharuskan dirinya melayani predator tersebut, tetapi derita psikologis traumatik akan terus menghantui sepanjang hidupnya. Acap kali wanita yang menjadi korban kekerasan seksual ini, akan lebih tertutup kepada pria, entah itu rekan kerja, saudara, terlebih pria  yang akan menjadi pasangan hidupnya kelak, akibat 'pernah' merasakan kejamnya pria yang bejat melampiaskan hawa nafsu kepadanya, terlebih lagi masyarakat Indonesia yang tetap memberlakukan stigmatisasi dalam menilai seseorang. Hal inilah derita yang tidak diterima oleh sang predator seks.

Korban pemerkosaan pun tidak hanya wanita dewasa, mulai usia belia hingga lansia pernah pasrah dan larut untuk 'menyumbangkan' tubuhnya kepada predator seks, terbukti ada sejumlah peristiwa di Indonesia. Selain kekerasan seksual yang cenderung mengharuskan sang korban menyerahkan 'tubuhnya' kepada pelaku, acap kali terjadi pelecehan seksual kepada perempuan, sebagai contoh catcalling, digoda dengan kata-kata tak senonoh, dicolek, dan dipandang seolah-olah menelanjangi sang korban, memang tindakan tersebut termasuk ke tindakan pelecehan, akan tetapi masih sering dilakukan oleh pria-pria berhidung belang, dan hal yang dapat dilakukan oleh korban, dalam konteks ini wanita adalah sebatas dongkol, marah, dan terhina, wanita cenderung lebih memiliih untuk tidak menghiraukannya daripada harus menerima hal yang 'lebih' daripada itu, contohnya perilaku pemerkosaan. Pemerkosaan pun ada banyak jenisnya, diantaranya

  • Sadictic Rape (Pemerkosaan Sadis)
  • Anger Rape (Pemerkosaan sebagai pelampiasan emosi)
  • Domination Rape (Pemerkosaan sebagai ajak menunjukkan kekuasaan)
  • Seductive Rape (Pemerkosaan karena adanya dorongan situasi merangsang dari kedua belah pihak)
  • Exploitation Rape (Pemerkosaan karena diperoleh keuntungan)
  • Marital Rape (Pemerkosaan dalam perkawinan yang sah)

Ada beberapa jenis pemerkosaan, dimana yang melatarbelakangi pelaku untuk melakukan hal keji itu berbeda-beda motifnya. Hal yang menuai pro-kontra adalah di nomor 6 yaitu Marital Rape. Pertanyaannya, mengapa sudah melangsungkan perkawinan yang sah tetapi masih disalahkan untuk melakukan persetubuhan? Pasangan (Istri) juga tidak akan menununtut suami karena kewajiban istri adalah melayani suami. Itulah beberapa perspektif sejumlah masyarakat atas adanya pernyataan 'Marital Rape'. Untuk melindungi wanita, pada Rancangan Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (RKUHP) sudah tertera tepatnya pada Pasal 479 ayat 1 dan 2 akan diancam pidana selama 12 tahun kepada tiap orang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang tanpa persetujuannya, meskipun dalam konteks perkawinan yang sah. Kembali lagi, sejatinya pemerkosaan adalah perilaku pemaksaan hubungan seksual terhadap perempuan tanpa adanya persetujuan atau tanpa disadari sang korban, meskipun seorang istri. Rancangan Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (RKUHP) tepatnya pada Pasal 479 ini sejatinya menyempurnakan Pasal 285 KUHP, karena di aturan yang terdahulu untuk mengklasifikasikan seseorang dikatakan melakukan tindak pidana, apabila orang tersebut melakukan hubungan seksual secara paksa di luar perkawinan, dan zaman yang sudah berkembang ini perlu adanya pembaharuan sistem aturan yang berlaku di Indonesia, salah satunya peraturan tentang perlindungan Hak Asasi Manusia. Sejatinya, aturan soal sanksi pelaku perkosaan dalam rumah tangga sudah termaktub dalam Pasal 8 huruf (a). UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan adanya RKUHP menyempurnakan aturan ini.

Adanya penjelasan di atas tadi, maka dinilai masih perlu penambahan literasi dan sosialisasi kepada khalayak masyarakat, bahwa RKUHP khususnya Pasal 479 ini adalah penyempurnaan, ibarat menutup celah yang ada di sistem aturan pendahulunya yaitu KUHP, yang terpenting adalah bahwa tidak semua pemaksaan dianggap kekerasan. Ketika ada ketimpangan relasi, menimbulkan kesakitan, dan tidak manusiawi, barulah negara ikut andil menyelesaikan dengan cara memberlakukan aturan ini. Hal ini juga bukan persoalan tentang pasal pemerkosaan istri saja, tetapi mengatur soal 'statutory rape' yang juga mencakup penipuan terhadap status perkawinan (involuntarily), sekaligus melindungi wanita di Indonesia terhadap kekerasan yang seringkali terjadi di dalam Rumah Tangga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun