Aslinya bentuk tubuh saya itu normal sejak lahir tidak ada yang luar biasa. Lahir dengan tingkat kenormalan di atas rata-rata bayi yang baru lahir pada umumnya.
Setelah dewasa, tinggi badan 165 cm dan berat badan mencapai 55 kg. Berwarna kulit sawo-matang, rambut menggulung, wajah bulat, hidung bangir dengan dua lubang besar yang menganga, dengan bibir tipis yang mempesona. Dan mungkin hanya bibir yang paling menonjol diantara semuanya.
Meskipun demikian, tidak lantas membuat saya sombong hingga mengangkat diri setinggi-tingginya dan lupa touch on the earth. Meski itu hanya pendapat saya, tapi honestly, banyak yang iri dengan bau mulut saya.
Itu pun baru saya sadari setelah menyandang predikat "Duda Terkeren" sekampung yang empat ekor menjuntai cantik dibuntut. Predikat itu merupakan prestige tersendiri bagi saya.
Lama-lama Saya juga tak faham. Apa karena saya perokok berat sekaligus penikmat kopi, hingga mulut saya bau? Apa mungkin karena suka konsumsi (bakso) daging? Ataukah karena jarang sikat gigi?
Bingung juga. Tapi harus saya pastikan sensasi baunya. Apakah baunya se-amazing yang mereka tuduhkan. Haaauuuhhh! Gandrung! Sebusuk itukah baunya???
Sejak saat itu, sikat gigi (selain gawai) wajib saya bawa. Sebut saja sikat gigi satu-satunya alat yang tidak pernah saya tinggalkan. Meski ketinggalan di rumah, secepat kilat cari minimarket, dan beli. Jika tidak, bisa-bisa harga emas antam bisa anjlok.
Terus terang ini bukan untuk nge-bully teman-teman yang punya pengalaman buruk seperti saya. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Itu karena tekad dan kegigihan saya menyikat gigi 5 kali sehari. Jadi tak perlu dipermasalahkan lagi.
Tidak mengherankan, bila bau yang berasal dari mulut sering tak terdeteksi oleh indera penciuman kita. Ada banyak sekali faktornya. Salah satunya, saat kita sudah terbiasa dengan beragam macam bau. Saat bau busuk yang tercium hidung dengan durasi yang cukup lama dapat membuat reflektor penciuman kita terbiasa dengan bau busuk. Begitu juga sebaliknya dengan bau-bau lainnya.
Saya kasih contohnya. Sebelum saya pindah untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMP, sedari lahir saya tinggal dirumah opa-oma, tidak jauh dari Pabrik Pengalengan Ikan Sinar Food di Bitung.
Tiap kali produksi, limbah pabrik langsung diarahkan ke laut melewati gorong-gorong besar, bersebelahan dengan rumah-rumah warga. Dan rumah kami sangat dekat dengan gorong-gorong besar tadi, hanya sepelempar batu jaraknya. Otomatis bau semerbak limbah pabrik menyeruak ke rumah kami.