Mohon tunggu...
Ramadianto Machmud
Ramadianto Machmud Mohon Tunggu... Freelancer - Citizen Journalism

Email: ramadianto.machmud@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humor

Bau Mulut, Polusi Udara Pertama di Dunia

4 Juni 2021   00:49 Diperbarui: 4 Juni 2021   04:21 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bau Mulut Ketika Bangun Pagi, Foto: menshealth.com

Aslinya bentuk tubuh saya itu normal sejak lahir tidak ada yang luar biasa. Lahir dengan tingkat kenormalan di atas rata-rata bayi yang baru lahir pada umumnya.

Setelah dewasa, tinggi badan 165 cm dan berat badan mencapai 55 kg. Berwarna kulit sawo-matang, rambut menggulung, wajah bulat, hidung bangir dengan dua lubang besar yang menganga, dengan bibir tipis yang mempesona. Dan mungkin hanya bibir yang paling menonjol diantara semuanya.

Meskipun demikian, tidak lantas membuat saya sombong hingga mengangkat diri setinggi-tingginya dan lupa touch on the earth. Meski itu hanya pendapat saya, tapi honestly, banyak yang iri dengan bau mulut saya.

Itu pun baru saya sadari setelah menyandang predikat "Duda Terkeren" sekampung yang empat ekor menjuntai cantik dibuntut. Predikat itu merupakan prestige tersendiri bagi saya.

Lama-lama Saya juga tak faham. Apa karena saya perokok berat sekaligus penikmat kopi, hingga mulut saya bau? Apa mungkin karena suka konsumsi (bakso) daging? Ataukah karena jarang sikat gigi?

Bingung juga. Tapi harus saya pastikan sensasi baunya. Apakah baunya se-amazing yang mereka tuduhkan. Haaauuuhhh! Gandrung! Sebusuk itukah baunya???

Sejak saat itu, sikat gigi (selain gawai) wajib saya bawa. Sebut saja sikat gigi satu-satunya alat yang tidak pernah saya tinggalkan. Meski ketinggalan di rumah, secepat kilat cari minimarket, dan beli. Jika tidak, bisa-bisa harga emas antam bisa anjlok.

Terus terang ini bukan untuk nge-bully teman-teman yang punya pengalaman buruk seperti saya. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Itu karena tekad dan kegigihan saya menyikat gigi 5 kali sehari. Jadi tak perlu dipermasalahkan lagi.

Tidak mengherankan, bila bau yang berasal dari mulut sering tak terdeteksi oleh indera penciuman kita. Ada banyak sekali faktornya. Salah satunya, saat kita sudah terbiasa dengan beragam macam bau. Saat bau busuk yang tercium hidung dengan durasi yang cukup lama dapat membuat reflektor penciuman kita terbiasa dengan bau busuk. Begitu juga sebaliknya dengan bau-bau lainnya.

Saya kasih contohnya. Sebelum saya pindah untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMP, sedari lahir saya tinggal dirumah opa-oma, tidak jauh dari Pabrik Pengalengan Ikan Sinar Food di Bitung.

Tiap kali produksi, limbah pabrik langsung diarahkan ke laut melewati gorong-gorong besar, bersebelahan dengan rumah-rumah warga. Dan rumah kami sangat dekat dengan gorong-gorong besar tadi, hanya sepelempar batu jaraknya. Otomatis bau semerbak limbah pabrik menyeruak ke rumah kami.

Itu terjadi tiga kali seminggu. Oleh karena keseringan mencium bau busuk, kami lupa kalau limbah pabrik itu baunya seperti apa. Saat keluarga dari luar kota datang ke rumah kami, sontak dibuat heboh, mereka mengira ada bau bangkai terselip di langit-langit rumah. Disitulah saya teringat kalau limbah pabrik itu baunya sangat busuk.

Baik, kembali lagi ke soal bau mulut. Akibat faktor itu, tubuh kita tidak lagi memiliki objective distance, khususnya soal bau. Dan sulit sekali mencari jalan keluarnya. Ini merupakan masalah yang paling rentan menjadi pemicu masalah sosial, yang dampaknya bisa kemana-mana.

Bau mulut adalah faktor penurunan tingkat kepercayaan diri seseorang. Dikasih tahu ke orangnya sungkan. Bila didiamkan, kita nyaris pingsan dibuatnya.

Sebentar. Hanya segelintir orang yang menyadari kalau mulutnya bau. Dia tak bisa membedakan bau itu dari mulutnya atau keteknya. Bahkan, orang dengan bau ketek tersadis pun tak dapat menyadari malapetaka sedang menghampirinya. Sementara, manusia-manusia lainnya nyaris pingsan menahan bau ketek setiap berada di dekatnya.

Untungnya sekarang ini kita berada di era new-normal. Semua diharuskan memakai masker dan jaga jarak. Coba bayangkan bila semua itu tidak diberlakukan dan kita berbagi tempat duduk dengannya dalam satu metromini? Sedang asyik-asyiknya ngobrol, "maaf kak, mulutmu bau kak!" Risih iya, tersinggung apalagi. Jangan harap dibayarin. Ngimpi; hahahaha

Apalagi kalau dia seorang single good looking yang sedang berjuang mencari cinta? Wah, sangat berbahaya.

Dulu, saya sering hadapi hal serupa dengan masalah bau mulut. Saya sering dianggap bagian dari polusi udara yang sulit ditanggulangi. Tapi, berkat dukungan teman-teman dibarengi dengan usaha ekstra keras, kuman mulut yang membandel berhasil dibasmi.

Namun, masalah bau mulut ini tak se-simple yang dipikirkan. Pasta gigi serta mouthwash tak mampu mengalahkan bau mulut. Terlebih bau mulut ketika bangun pagi? Ehemm, sulit dijelaskan!

Sampai suatu ketika, saya lupa gosok gigi sebelum tidur akibat kelelahan seharian menulis, saya pun tertidur lelap. Dalam tidur yang pulas, saya bermimpi bertemu seorang kakek tua penjaga pohon aren. Ia berusaha keras menuliskan sesuatu diatas selembar daun lontar.

Setelah cukup lama menunggu ia menulis, akhirnya dia putuskan memberikan kepada saya lembar daun lontar tadi lengkap dengan kalimat tertulis diatasnya. "Permen Wangi, Ya Gula Aren." Ternyata, manfaat gula aren berhasil menyelesaikan masalah bau mulut saya.

Kandungan mineral, seperti magnesium, zinc, zat besi, serat inulin, dan juga antioksidan mampu mengatasi bakteri asam jahat yang diciptakan dari sisa makanan yang menumpuk di sela-sela gigi. Namun perlu juga diingat penggunaan dalam jangka waktu yang lama sangat tidak disarankan. Kasihan yang lain!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun