Mohon tunggu...
Ramadianto Machmud
Ramadianto Machmud Mohon Tunggu... Freelancer - Citizen Journalism

Email: ramadianto.machmud@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kebebasan Berpendapat dan Kekerasan

18 Mei 2021   12:49 Diperbarui: 18 Mei 2021   13:10 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia sejak masa peralihan kekuasaan dikenal sebagai negara dengan sistem demokrasi murni. Tidak ada pemisahan kekuasaan, yang ada hanyalah pembagian kekuasaan.

Tak heran, pemenuhan hak atas kebebasan berpendapat menjadi ujung tombak agenda reformasi kala itu. Kemerdekaan berbicara di depan publik pun dijamin oleh undang-undang. Sehingga kebebasan berpendapat dianggap sebagai sarana utama dan eksklusif atas tindakan politik.

Dengan adanya legalitas, maka kebebasan berpendapat dipandang sebagai salah satu fungsi penting dalam menjalankan sistem demokrasi. Artinya, kemampuan dalam berkomunikasi harus menjadi tolak ukur mencapai tujuan politik.

Namun sayang, banyak dari kita menyalahgunakan hak istimewa tersebut. Masalah-masalah yang disajikan, dibungkus sedemikian rapi hanya untuk mengeksploitasi hasrat dan perasaan massa.

Bukannya untuk menggalang pemikiran solutif, tetapi yang tampak hanyalah bentuk-bentuk ancaman, intimidasi, dan kekerasan fisik menjadi sarana dominasi. Inilah tandanya bahwa kita belum merdeka secara moral.

Hal-hal itu terjadi bukannya tanpa sebab. Kekuasaan dengan kekuatannya ingin mengendalikan situasi dengan arogansi dan bukan dengan pendekatan moralitas. Bila ini dibiarkan, maka pada puncaknya akan ada banyak korban.

Tak bisa disangkal, kebebasan berpendapat sering mengalami situasi yang dilematis. Pada satu sisi, kemampuan berkomunikasi dapat menghindarkan kita dari kekerasan fisik, namun disisi lainnya pasti menuai kekerasan simbolis.

Tidak sedikit para politikus, birokrat, bahkan teknokrat sekalipun yang terbiasa dengan premanisme sering memonopoli kekerasan. Bahkan beberapa kelompok cenderung melegalkan tindakan mereka atas dasar tatanan moral dan juga agama.

Sebenarnya, kebebasan berpendapat menjadi momok bagi politik kekuasaan. Para politikus dan beberapa kelompok sering bersembunyi di balik kalimat-kalimat yang kabur, pemaknaan yang ambigu, serta gaya bicara merendah sarat manipulasi.

Berhati-hatilah kita dengan model-model demikian. Sebab cara-cara seperti itu, digunakan sebagai alibi untuk menghindari tuntutan legalitas dan tanggung jawab moral atas pernyataannya. Gaya-gaya semacam ini sangat subur, dipakai untuk menjilat penguasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun