Adakah jalan menuju tempat singgah yang aku anggap rumah ternyaman selain dekapan paling hangat dari seorang ibu, menuntaskan segenap ingin, hingga membebaskan diri ini dari rasa hening, menukar segala macam tawa, melampiaskan segala kekaacauan dalam jiwa, Â dan membuat diriku telah benar-benar bebas dari luka, yang aku anggap sangat menyakitkan.
Dari sekian banyak duka, telah aku usahakan sekuat mungkin, menyusuri dari tempat ketempat lain, Â menerawang dari berbagai sudut, yang tak henti-hentinya meralpalkan sebuah pangkuan, untuk membuat diriku sedikit tenang, hingga pelan-pelan memperbaiki semua keadaan agar aku bisa bangkit bersama senyum paling menyenangkan.
Begitu sangat membumi, rindu hadir bersamaan dengan orang yang telah lama pergi, mengingat segerombolan kasih dan cinta dari manusia yang telah aku anggap rumah.
Telah kuhabiskan segala cara agar kita bersua dalam ruang temu, menuntaskan benih-benih kehilangan, menukar segala macam bahagia, seolah kita tidak akan meninggalkan satu sama lain, bagaikan senja yang tidak akan kehilangan langitnya, bagaikan tangis dengan air mata, bagaikan angin meniup daun diujung ranting, bagaikan kita yang sama-sama tak ingin pisah.
Terhadapmu, aku telah kehilangan rumah singgah untuk merebahkan segala macam persoalan, menyesali bahwa pernah semanja itu kepada orang terkasih, memberi tanpa pamrih, kepada diriku yang lupa mensyukuri, bahwa pernah dititipkan seorang hamba, datang dengan cinta, hingga membuat hidupku merasakan betapa hebatnya bahagia, dari orang yang lagi-lagi aku anggap rumah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H