Mohon tunggu...
R.P Widyarmo
R.P Widyarmo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa - S1 Ilmu Ekonomi

Wadah ekspresi dan turahan isi pikiran, ditulis berdasarkan ide liar dari fikiran pribadi dan keresahan sang penulis.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Fintech Lending (Pinjol), Model Bisnis dengan Stigma Negatif di Masyarakat, Dipelihara Penyelenggara Negara untuk Mencapai Persistensi Pertumbuhan

8 Januari 2024   12:30 Diperbarui: 8 Januari 2024   14:31 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Kemunculan yang tidak terdeteksi membuat fintech lending (pinjol) menjadi sebuah hal yang memiliki kesan ledakan, semua itu dikarenakan dampak negatif yang tentunnya diiringi dengan contoh kasus negatif cukup beragam. Saat dilakukan survei kecil kecilan dengan ruang lingkup tongkrongan gen z yang rata rata besar dari keluarga kelas menengah dan cukup peka terhadap isu fintech lending. Didapatkan temuan stigma negatif ketika mereka mendengar istilah pinjol ini, mereka menganggap masyarakat yang menggunakan layanan jasa keuangan seperti ini pasti memiliki motif negatif dalam melakukannya.  Biasanya mereka beranggapan karena unsur kebutuhan gaya hidup yang tinggi ditengah kota metropolitan, maupun keyakinan mendapat kesempatan keuntungan tetapi malah mengganggu psikologis dan kerugian yang signifikan yang disebut dengan praktik judi online.

            Mengapa Fintech Lending atau bisa dijuluki dengan sarana keuangan sebagai wadah penyaluran kredit non konvensional.  Jika menurut data yang diluncurkan melalui pers Otoritas Jasa Keuangan (OJK), nilai penyaluran jasa kredit konvensional yang berasal dari model usaha bank umum nilainya hanya 6% dari total penduduk dewasa, sehingga sembilan puluh sekian persen inilah yang menjadi peluang tumbuhnya lembaga Pinjaman Online untuk mendapatkan kesempatannya sebagai lembaga penyaluran kredit dengan model bisnis baru. Jika meruntutkan timeline perkembangan usaha Fintech Lending di Indonesia penulis mendapatkan asumsi yang berdasar pada runtutan waktu. Menurut beberapa kanal berita yang bersumber dari OJK dinyatakan bahwa Pinjol mulai masuk Indonesia pada tahun 2016, tetapi dilihat pada kondisi nyata Pinjol baru popular saat masa krisis ekonomi yang bersumber dari krisis Kesehatan, yaitu pada periode 2020-2022.

            Mengapa penulis beranggapan bahwa lembaga fintech lending merupakan lembaga keuangan yang dipelihara dan dipromosikan otoritas pembuat kebijakan?. Tidak dipungkiri bahwa salah satu alasan berasal dari kompetisi dalam mengejar pertumbuhan ekonomi sedang dilakukan oleh seluruh negara dunia dalam beberapa dekade terakhir, ketika kondisi krisis kesehatan membuat kemungkinan guncangan perekonomian yang sangat besar mengalihkan fokus negara untuk menyelesaikan masalah ketimbang pionerisasi. Terlepas dari itu sebuah negara tidak akan pernah mengabaikan indikator ekonominya, pengejaran indikator ekonomi harus tetap dilakukan untuk memastikan kesejahteraan masyarakat juga kepercayaan masyarakat akan kredibilitas para jajaran pemerintahan. Pengerekan kearah menurun tingkat suku bunga sudah mulai dilakukan mulai kwartal pertama 2020 untuk melakukan antisipasi peramalan resesi yang terjadi akibat krisis kesehatan, hal ini diharapkan untuk menstimulus peningkatan kredit demi mengejar pertumbuhan ekonomi agar tetap positif, tetapi penurunan suku bunga yang diiringi dengan penurunan inflasi membuat perekonomian berada pada titik jenuh. Singkatnya penjelasan mengapa perekonomian dianggap berada pada titik jenuh saat penurunan tingkat suku bunga diiringi dengan penurunan inflasi, kondisi ini menyatakan bahwa perputaran uang pada masyarakat mengalami penurunan karena dipengaruhi oleh motif berjaga jaga dengan kekhawatiran kondisi ekonomi selama masa krisis kesehatan, akibatnya kredit menurun - tingkat konsumsi masyarakat menurun - pertumbuhan ekonomi Indonesia yang ditopang oleh sektor informal menurun menyebabkan pertumbuhan ekonomi tesendat.

            Mengingat masa pemilu, kampanye dan debat calon pemimpin negara yang beranggapan bahwa gagasan tanpa data nominal konkrit hanyalah omong kosong, maka penulis sedikit menyertakan data nominal sebagai bumbu pelengkap. 99,99% pelaku usaha Indonesia berasal dari sektor informal, serta dengan sumbangan presentase GDP/PDB sebesar 60%. Dengan asumsi setiapnya memiliki kebutuhan hidup yang dapat dipenuhi melalui perilaku konsumsi, ketika mereka dan masyarakat dengan sektor pekerjaan informal tidak memiliki sumber daya untuk melakukan konsumsi maka pukulan cukup berat akan dirasakan oleh GDP/PDB, tentunya PDB sebagai parameter dari presentase pertumbuhan ekonomi akan mengalami penurunan signifikan yang tidak bisa dihindarkan. Ketidakmungkinan pengajuan kredit kepada bank umum jika kita tidak memiliki proporsi standar yang mereka tetapkan membuat masyarakat memiliki cukup besar kemungkinan untuk mencari alternatif lain. Pemerintah lewat penindakan terhadap Fintech Lending illegal secara tidak langsung ikut mempromosikan, ketika pemerintah sudah terlihat kehabisan cara untuk menggenjot konsumsi masyarakah saat itulan pinjaman online hadir dengan kemudahan pengajuan kredit tanpa standar kualifikasi yang merepotkan dan tentunya tidak perlu taat dengan bunga acuan bank sentral. Bukan tanpa alasan pinjaman online tidak menaati aturan tingkat bunga bank sentral, mengingat model bisnis mereka dipenuhi dengan resiko gagal bayar sangat tinggi.

            Walau terkesan melakukan beberapa pelanggaran norma atau etika kegiatan bisnis dimata masyarakat, pinjaman online sesungguhnya sangat dicintai dan dipelihara negara karena tidak dipungkiri aktivitas penyaluran kredit kepada masyarakat dengan kemudahan inilah yang membantu menggenjot daya beli dan konsumsi masyarakat. Sehingga akhirnya dengan segala aduan dari masyarakat sebagai pengguna jasa fintech lending ini pemerintah melakukan pengaturan aktivitas ini, dengan tingkat bunga yang tetap tidak pada acuan bank sentral tetapi ada batasan maksimum sehingga tidak terlalu memberatkan masyarakat sebagai pengguna jasa. Karena sejatinya model bisnis ini merupakan salah satu pembantu otoritas untuk menggenjot perekonomian terus berjalan, dengan kekurangan literasi keuangan dan desakan akan kebutuhan membuat mereka yang tidak memiliki kecukupan akan tanggung jawab terhadap diri sendiri merasa menjadi korban akan model bisnis seperti ini.

Terimakasih Sekian dari Penulis, Diharapkan membaca ini sambil mengingat traffic pasar kebutuhan primer dan tempat sosialisasi berbayar (Caf) selama periode resesi ekonomi yang berasal dari krisis kesehatan beberapa waktu lalu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun