Mengatasi Konflik dalam Pengembangan IOIS: Tantangan Kekuasaan yang Sering Diabaikan
Pengembangan Sistem Informasi Antar-Organisasi (IOIS) semakin menjadi kebutuhan krusial di era globalisasi saat ini. Proyek IOIS, yang sering melibatkan lebih dari satu organisasi dengan kepentingan yang berbeda, dihadapkan pada berbagai tantangan, terutama dalam aspek kekuasaan dan konflik. Dalam artikel ilmiah yang ditulis oleh Hekkala, Stein, dan Sarker (2021), dinamika kekuasaan dan konflik dalam proyek-proyek IOIS dianalisis secara mendalam. Mereka menunjukkan bahwa kekuasaan sistemik (yang terkait dengan struktur formal) dan kekuasaan episodik (yang terkait dengan praktik sehari-hari) saling berinteraksi dalam membentuk hasil dari proyek-proyek semacam ini. Menurut penelitian tersebut, sekitar 50% proyek IOIS mengalami keterlambatan atau bahkan gagal karena masalah konflik antar-organisasi (Hekkala et al., 2021).
Penelitian yang dilakukan selama tiga tahun ini menunjukkan bagaimana kekuasaan yang seharusnya mendorong keberhasilan kolaborasi antar organisasi justru menjadi sumber konflik laten yang terus-menerus muncul ke permukaan. Ketika organisasi yang terlibat memiliki hak keputusan yang setara, meskipun kontribusi keuangan mereka berbeda (seperti dalam studi ini, di mana Beta menanggung 50% biaya, Alpha 30%, dan Gamma 20%), konflik kekuasaan sering kali tidak terhindarkan. Dalam proyek yang mereka teliti, Hekkala dkk menemukan bahwa kegagalan untuk menyelaraskan kepentingan antar pihak menciptakan "shadow organization"---struktur informal yang memperburuk konflik terbuka di antara aktor-aktor utama. Menariknya, konflik-konflik ini tidak hanya memperlambat proyek, tetapi juga meningkatkan biaya pengembangan hingga 20% dari anggaran awal yang diperkirakan sebesar 6 juta euro. Bagaimana cara kekuasaan digunakan, apakah untuk memperbaiki atau memperburuk konflik, memainkan peran sentral dalam keberhasilan atau kegagalan proyek IOIS ini.
***
Proyek pengembangan sistem informasi antar-organisasi (IOIS) bukanlah sebuah tugas yang sederhana. Berdasarkan temuan Hekkala dkk. (2021), proyek semacam ini tidak hanya melibatkan teknologi tetapi juga politik dan kekuasaan yang terjalin di antara organisasi yang terlibat. Salah satu contoh yang paling mencolok adalah perbedaan kontribusi keuangan dalam proyek. Dalam studi mereka, Beta menanggung 50% dari total biaya proyek, sementara Alpha menanggung 30% dan Gamma hanya 20%. Meskipun demikian, semua organisasi diberikan hak suara yang sama dalam pengambilan keputusan. Ketidakseimbangan inilah yang menyebabkan ketegangan antara pihak-pihak yang terlibat. Kontribusi yang lebih besar oleh Beta tidak serta-merta memberi mereka kontrol lebih besar, yang menyebabkan konflik episodik dan sistemik yang merusak hubungan kolaboratif.
Pada tahun pertama proyek, konflik ini sudah mulai memanifestasikan diri dalam bentuk perbedaan pendapat mengenai pilihan teknologi. Para pengembang dari Beta lebih memilih teknologi yang inovatif, sementara manajemen dari Alpha dan Gamma mendesak pilihan yang lebih konservatif, dengan alasan jangka panjang. Perdebatan ini memuncak ketika keputusan yang dibuat oleh manajemen tidak dikomunikasikan dengan baik kepada pengembang. Ketika keputusan untuk memilih solusi teknologi tertentu disembunyikan dari tim pengembang, mereka merespons dengan mengancam mundur dari proyek. Kasus ini menunjukkan bagaimana kekuasaan episodik, yang digunakan oleh manajemen untuk menyembunyikan informasi penting, dapat memicu konflik langsung (Hekkala et al., 2021).
Selain itu, artikel ini juga menyoroti penggunaan kekuasaan sistemik dalam mengelola konflik. Sistem hierarki yang dibentuk, di mana kelompok manajemen, pengarah, dan proyek memiliki hak dan tanggung jawab yang berbeda, awalnya dimaksudkan untuk mempermudah pengambilan keputusan. Namun, seiring berjalannya waktu, sistem ini justru memperumit proses pengambilan keputusan karena organisasi yang lebih kecil, seperti Gamma, merasa memiliki hak suara yang setara meskipun kontribusi mereka lebih sedikit. Hal ini mengarah pada praktik kekuasaan "bargaining" di mana organisasi-organisasi bernegosiasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk mempertahankan atau memperluas pengaruh mereka dalam proyek. Akibatnya, proyek ini mengalami keterlambatan lebih dari tiga tahun dan biaya meningkat hingga 20% dari anggaran yang telah ditentukan (Hekkala et al., 2021).
Pada akhirnya, penelitian ini menyiratkan bahwa kekuasaan dalam proyek IOIS bukan hanya soal siapa yang memiliki otoritas formal, tetapi juga bagaimana kekuasaan tersebut digunakan dalam praktik sehari-hari. Ketika praktik kekuasaan tidak dikelola dengan baik, konflik laten dapat dengan mudah meledak menjadi konflik terbuka yang merusak hubungan antar organisasi dan mengancam keberhasilan proyek secara keseluruhan.
***
Dari ulasan di atas, jelas bahwa kekuasaan dan konflik memainkan peran krusial dalam proyek-proyek pengembangan sistem informasi antar-organisasi (IOIS). Penelitian Hekkala dkk. (2021) menunjukkan bahwa bahkan ketika kekuasaan didistribusikan secara merata melalui sistem formal, faktor-faktor lain seperti kontribusi finansial dan perbedaan kepentingan dapat memperumit dinamika kekuasaan. Ketika kekuasaan digunakan secara episodik, misalnya dengan menyembunyikan informasi, hasilnya adalah meningkatnya ketegangan yang memicu konflik terbuka, memperlambat proyek, dan mengakibatkan lonjakan biaya.
Bagi para praktisi, artikel ini memberikan wawasan penting tentang perlunya mengelola kekuasaan dengan lebih transparan dan menghindari keputusan sepihak yang dapat memperburuk konflik. Strategi seperti merestrukturisasi sistem pengambilan keputusan dan memprioritaskan komunikasi terbuka bisa menjadi langkah penting untuk mencegah keterlambatan dan overbudget yang sering terjadi dalam proyek IOIS. Pada akhirnya, kesuksesan proyek bukan hanya soal teknologi yang digunakan, tetapi juga bagaimana hubungan kekuasaan di antara para pemangku kepentingan dikelola dengan bijaksana.