Mohon tunggu...
Ramadhani Nur Sarjito
Ramadhani Nur Sarjito Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Nama : Ramadhani Nur Sarjito; NIM : 41521010097; Jurusan : Teknik Informatika; Kampus : Universitas Mercu Buana; Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB; Dosen : Prof Dr Apollo, M.Si.Ak.;

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Penerapan Teori GONE oleh Jack Bologna dan Teori CDMA oleh Robert Klitgaard

30 Mei 2023   16:51 Diperbarui: 30 Mei 2023   16:52 886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Korupsi telah menjadi perhatian global, karena dampaknya yang merusak pada masyarakat dan pembangunan. Korupsi dikategorikan sebagai extra ordinary crime dengan berbagai dimensinya, seperti economic crime, organized crime, white collar crime dan political crime. Dengan bentuknya yang extra ordinary crime, maka upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi harus ditempuh dengan cara-cara yang luar biasa pula.

Dalam konteks Indonesia, korupsi telah menghambat pertumbuhan ekonomi, merusak kepercayaan publik, dan mempengaruhi efektivitas pemerintahan. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami fenomena korupsi ini dan mengambil langkah-langkah untuk memeranginya. Salah satu teori yang berhubungan adalah teori GONE (greed, opportunity, need, exposure) dan teori CDMA (corruption = discretion + monopoly - accountability).

Apa Itu Korupsi?

Menurut Agus Mulya Karsona, korupsi dapat didefinisikan sebagai perbuatan yang tidak bermoral, jahat, dan merusak, terkait dengan praktik-praktik yang busuk, melibatkan jabatan di instansi atau aparat pemerintah, penyalahgunaan kekuasaan dalam jabatan untuk keuntungan pribadi, serta melibatkan faktor ekonomi, politik, dan penempatan keluarga atau golongan dalam posisi yang berkuasa.

Menurut Robert Klitgaard, korupsi merujuk pada perilaku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi dalam negara, yang dilakukan untuk memperoleh keuntungan status atau materi yang menguntungkan diri sendiri (individu, keluarga dekat, atau kelompok tertentu), atau melanggar aturan pelaksanaan yang berkaitan dengan perilaku pribadi.

Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi didefinisikan sebagai tindakan yang melanggar hukum, di mana seseorang dengan cara yang tidak sah memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi, dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sumber daya yang dimilikinya karena jabatan atau posisi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Jadi, dari pengertian menurut sumber diatas dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah perbuatan yang busuk, jahat, dan merusak yang melibatkan penyelewengan kekuasaan, pelanggaran terhadap tugas resmi jabatan, atau penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang dimiliki oleh individu dalam jabatan atau kedudukan.

Korupsi dilakukan dengan tujuan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi, dan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Faktor-faktor seperti amoralitas, sifat dan keadaan yang buruk, faktor ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan dalam jabatan juga menjadi bagian dari konsep korupsi. Dalam hukum, korupsi dianggap sebagai tindakan melawan hukum yang dapat dikenakan sanksi.

Mengapa korupsi sulit di berantas?

Ada banyak faktor yang membuat sulitnya pemberantasan korupsi di Indonesia, dan salah satunya adalah pola pikir masyarakat Indonesia. Mengapa pola pikir masyarakat Indonesia berkontribusi pada kesulitan pemberantasan korupsi di Indonesia dapat dipahami melalui beberapa faktor berikut ini:

  • Sejarah membentuk pola pikir masyarakat.

Sejarah di Indonesia terkait erat dengan penjajahan oleh Negara Belanda, Inggris, dan Portugis, dengan Belanda sebagai penjajah terlama. Selama masa penjajahan Belanda, terjadi perubahan sosial, ekonomi, dan politik di Jawa yang memengaruhi perubahan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat. Budaya korupsi mulai berkembang pada masa VOC dan mempengaruhi mentalitas masyarakat.

Pegawai dan pejabat VOC telah mencampuradukkan tugas dan tanggung jawab dengan kepentingan pribadi, mencari kekuasaan dan kemakmuran. Keserakahan akan harta dan kurangnya integritas pejabat VOC telah menyuburkan korupsi. Perluasan otoritas dan kekuasaan VOC juga telah mendorong ambisi-ambisi materiil dan nafsu akan kesenangan hidup yang mewah, yang menjadi lahan bagi tumbuhnya korupsi.

Korupsi pada masa VOC merupakan gejala sosial yang muncul dari sikap hidup masyarakat yang menggunakan materi dan kesenangan dunia sebagai standar kebenaran dan kekuasaan mutlak. Bahkan VOC sebagai kongsi dagang terbesar di dunia pun akhirnya runtuh akibat korupsi. Tingginya tingkat korupsi yang dilakukan oleh VOC telah mempengaruhi pola pikir masyarakat, sehingga tindakan korupsi dianggap sebagai hal yang biasa.

  • Akibat Birokrasi yang Berbelit.

Birokrasi adalah organisasi pemerintah yang bertugas melaksanakan kebijakan-kebijakan dan pelayanan publik. Namun, sektor pelayanan publik seringkali menjadi tempat bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk memanfaatkan posisi dan kekuasaan yang dimiliki. Masyarakat menginginkan proses pelayanan yang cepat dan efisien, namun rentang kerja yang rumit dan berbelit-belit membuat beberapa orang tidak sabar. Situasi ini menciptakan peluang bagi oknum-oknum tersebut untuk melakukan praktik korupsi dengan meminta uang dari masyarakat.

Menurut survei BPS tahun 2019 tentang Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK), sektor pelayanan publik memberikan kontribusi yang signifikan terhadap praktik korupsi. Hal ini menyebabkan sulit bagi masyarakat untuk tidak terlibat dalam korupsi.Dengan demikian, kesimpulannya adalah bahwa dalam konteks birokrasi dan sektor pelayanan publik, praktik korupsi masih merupakan masalah yang signifikan di Indonesia. Diperlukan upaya untuk memperbaiki sistem pelayanan publik, menyederhanakan proses, meningkatkan transparansi, dan mengedepankan prinsip akuntabilitas guna mengurangi praktik korupsi dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi.

  • Hukum yang Lemah

Hukum memegang peranan penting dalam penegakan keadilan dan tata kehidupan bernegara. Namun, banyaknya hukum yang tidak tegas dan memiliki banyak penafsiran berbeda menyebabkan kelemahan dalam sistem hukum di Indonesia. Kasus korupsi merupakan contoh sektor tindak pidana yang memiliki pasal-pasal yang ambigu, sehingga penjatuhan hukuman tidak selalu adil dan dapat menimbulkan persepsi bahwa ada permainan dibalik kasus tersebut. Hal ini berbeda dengan kasus lain seperti pencurian, pelecehan seksual, dan narkoba, di mana pengambilan keputusan cenderung lebih tegas.

Diperlukan penegakan hukum yang konsisten dan terpadu untuk memberikan manfaat bagi masyarakat, seperti efek jera untuk mencegah tindakan korupsi. Selain itu, hal tersebut juga akan membangun kepercayaan masyarakat terhadap upaya penegakan hukum dan aparat penegak hukum, yang pada gilirannya akan memperkuat dukungan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum. Namun, jika terjadi inkonsistensi dan ketidakterpaduan dalam penegakan hukum, masyarakat akan meragukan integritas penegak hukum dan kepercayaan terhadap sistem hukum akan melemah. Implikasinya adalah melemahnya budaya hukum dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum.

Dengan demikian, diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas hukum, memperbaiki kejelasan dan kepastian hukum, serta menjaga konsistensi dan integritas dalam penegakan hukum. Hanya dengan sistem hukum yang kuat.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi

Bagaimana Penerapan Teori GONE oleh Jack Bologna Pada Kasus Korupsi Di Indonesia ?

Penerapan teori GONE dalam kasus korupsi di Indonesia dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindakan korupsi. Berikut adalah penerapan teori GONE pada kasus korupsi di Indonesia.

Teori GONE oleh Jack Bologna

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun