Dalam situasi di mana kebutuhan pokok seperti makanan, perumahan, pendidikan, atau akses ke layanan kesehatan tidak terpenuhi, seseorang dapat merasa terjebak dalam siklus kemiskinan dan kesulitan. Dorongan untuk memenuhi kebutuhan ini secara cepat dan mudah dapat mendorong seseorang untuk mencari cara-cara tidak etis, seperti menerima suap atau memanfaatkan posisi yang dimilikinya.
Dalam hal ini, peran pemerintah, lembaga anti-korupsi, dan masyarakat sangatlah penting. Pemerintah harus mendorong kebijakan yang berpihak pada keadilan sosial dan mengurangi kesenjangan ekonomi. Lembaga anti-korupsi perlu mengintensifkan upaya pencegahan, penindakan, dan pemulihan terhadap korupsi. Sementara itu, masyarakat perlu berperan aktif dalam membangun kesadaran, memperjuangkan keadilan sosial, dan menolak korupsi sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan mendesak.
Pengungkapan (Exposure)
Pengungkapan merujuk pada risiko seseorang terbongkar atau terungkapnya tindakan korupsi yang dilakukan. Semakin tinggi risiko pengungkapan, semakin hati-hati seseorang dalam melakukan korupsi. Faktor pengungkapan ini juga dapat mempengaruhi keputusan seseorang untuk terlibat atau tidak terlibat dalam tindakan korupsi.
Ketika seseorang menyadari bahwa tindakan korupsi yang dilakukannya memiliki risiko pengungkapan yang tinggi, mereka cenderung menjadi lebih waspada dan berhati-hati. Mereka mungkin mengurangi jejak atau bukti yang dapat mengungkap tindakan korupsi, memperkuat sistem pengamanan, atau menghindari situasi yang dapat memunculkan kecurigaan.
Selain itu, peran lembaga hukum dan penegakan hukum yang kuat dan independen juga sangat penting. Ketika pelaku korupsi menyadari risiko pengungkapan yang tinggi dan adanya konsekuensi hukum yang serius, mereka akan lebih berpikir dua kali untuk melakukan tindakan korupsi.
Penerapan Teori GONE Pada Kasus Korupsi Di Indonesia
Penerapan Teori GONE Pada Kasus Korupsi BLBI
Kasus BLBI menggambarkan pengelolaan dana publik yang buruk dan penyalahgunaan kekuasaan dalam sektor perbankan. Krisis ekonomi pada tahun 1997 memicu pemberian bantuan likuiditas melalui program BLBI untuk menjaga stabilitas perbankan. Namun, setelah program ini berakhir, terungkap adanya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan sejumlah pihak terkait. Penyidikan dan persidangan mengungkap adanya dugaan korupsi dan penyalahgunaan dana BLBI. Beberapa terdakwa dijatuhi hukuman penjara atas tindak pidana korupsi yang mereka lakukan, sementara proses hukum terus berlanjut untuk terdakwa lainnya.
Informasi mengenai proses penyelidikan dan pengadilan terkait kasus BLBI. Terdapat proses pengusutan yang dilakukan oleh pihak berwenang untuk mengungkap dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi dalam penggunaan dana BLBI. Tagihan sebesar Rp110,45 triliun yang menjadi perhatian publik adalah jumlah yang harus dikembalikan kepada negara sebagai konsekuensi dari kasus tersebut.
Penerapan teori Jack Bologna dalam kasus Jiwasraya, yang pertama keserakahan (greed) terlihat dalam kasus BLBI melalui tindakan sejumlah pihak yang terlibat, termasuk pihak-pihak yang menerima bantuan likuiditas. Motivasi mereka adalah memperoleh keuntungan pribadi yang besar melalui manipulasi dan penyalahgunaan dana BLBI.Â
Kesempatan (opportunity) korupsi dalam kasus BLBI muncul karena lemahnya pengawasan dan tata kelola yang memungkinkan terjadinya praktik yang merugikan negara. Beberapa pihak yang terlibat memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukan penyalahgunaan dana dan memperkaya diri sendiri.
Dalam kasus ini, para pelaku korupsi mungkin merasa memiliki kebutuhan (need) finansial yang mendesak atau ingin memperoleh keuntungan pribadi yang lebih besar. Mereka melihat peluang dalam kelemahan dan ketidaktransparanan sistem penyaluran dana BLBI untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pribadi mereka.