Film Kim Jiyoung, Born 1982 diangkat dari novel dengan judul yang sama oleh penulis Joo Namjoo yang di-publish pada 14 Oktober 2016. Film ini mengisahkan tentang Kim Jiyoung, seorang wanita yang lahir pada tahun 1982 sebagai anak sulung dari tiga bersaudara di keluarga yang mendambakan anak laki-laki. Semasa hidupnya, Kim Jiyoung tidak pernah mendapatkan apresiasi yang layak sebagai seorang wanita. Di rumah, ia harus selalu mengalah kepada kedua adiknya karena ia anak sulung. Di sekolah, ia selalu menjadi bahan bulan-bulanan guru pria. Ketika dilecehkan oleh lelaki asing saat pulang sekolah di malam hari, ia disalahkan oleh ayahnya karena pulang sendirian. Ketika beranjak dewasa dan menjadi mahasiswi, ia tidak pernah direkomendasikan oleh dosennya untuk magang di perusahaan ternama. Ketika bekerja menjadi seorang karyawan yang teladan, ia tidak pernah mendapatkan promosi. Dan ketika perutnya mengandung seorang anak, ia harus melepas karirnya untuk seutuhnya mengurusi rumah tangga.
Tak hanya alami kesulitan semasa gadis, Jiyoung dapatkan kesulitan yang lebih banyak ketika statusnya berubah menjadi seorang ibu. Banyak sekali cemooh yang Jiyoung dapat sebagai ibu rumah tangga di Korea Selatan, seperti ia hanya menginginkan hidup yang nyaman dari uang yang dihasilkan suami. Statusnya yang telah menjadi seorang ibu tidak memberikan kesempatan untuk ia kembali melanjutkan karirnya setelah melahirkan. Hingga segala pengorbanannya sebagai ibu rumah tangga yang tidak dianggap oleh keluarganya. Selain status ibu rumah tangga yang ia emban berikan banyak tekanan, trauma dari masa lalu juga kerap hantui Jiyoung dewasa. Hidupnya semasa gadis yang tidak pernah aman dan nyaman membuatnya selalu dikelilingi ketakutan. Jiyoung muda bahkan pernah mengalami kerasnya patriarki di Korea Selatan dari ayahnya sendiri, hal yang sama memberikan Jiyoung trauma tak berujung.
Kehidupan sebagai ibu rumah tangga yang disebut banyak orang ‘nyaman’, nyatanya tidak membuat Jiyoung nyaman sama sekali. Setiap harinya ia merasakan hampa, seperti hidup hanya untuk menjalani rutinitas tanpa sepercikpun kebahagiaan di dalamnya. Jiyoung yang sekarang seorang ibu rumah tangga merindukan dirinya yang dahulu aktif sebagai pegawai, pula kegemarannya untuk menulis yang ia harus tinggalkan sebab hal tersebut dianggap tidak menguntungkan.Â
Setelah memiliki anak, ditambah trauma sebagai seorang perempuan yang terus ditumpuk sedari ia kecil, Jiyoung bagaikan tubuh tanpa nyawa yang hanya menjalani rutinitas tanpa ada gairah tersisa dalam setiap langkahnya. Perlahan-lahan, Jiyoung mulai kehilangan jati dirinya. Psikologisnya terganggu, dirinya berubah berangsur-angsur menjadi orang di sekitarnya. Mulai dari neneknya, temannya yang meninggal ketika melahirkan, hingga ibunya. Cara bicara dan perilaku yang sangat berbeda ini menimbulkan kecemasan tinggi pada Daehyun, suaminya, yang kemudian menuntun Jiyoung untuk menemui psikiater. Tak berhenti di sana, Daehyun juga merelakan masa kerjanya dengan mengambil cuti agar istrinya bisa sembuh dan kembali melakukan hal-hal yang dahulu membuatnya merasa ‘hidup’.
Penulis pribadi sangat menyukai konflik-konflik yang diangkat dalam film ini. Sebagai pemerhati dunia perempuan dan seorang perempuan, penulis dapat merasakan dan memahami masalah yang dialami oleh Jiyoung. Bagaimana sebagai seorang wanita, terlebih di negeri yang budaya patriarkinya masih sangat kental, hidup akan terasa beribu kali lebih sulit. Apalagi Jiyoung tinggal di dalam keluarga yang lebih menginginkan anak laki-laki dan orang tua yang sangat menganggap rendah dirinya sebagai seorang perempuan. Dari film ini penulis dapat melihat pandangan baru; meskipun Korea Selatan merupakan negara yang maju, namun pola pikir warganya belum sepenuhnya terbuka. Seperti kepada kebebasan dan kemandirian yang ditunjukkan wanita, dalam kasus ini Jiyoung. Mereka masih berpikir bahwa pria memiliki derajat yang lebih tinggi dan wanita harus serba sempurna untuk tidak dilingkupi oleh cap jelek dari masyarakat, bahkan dari sesama wanita. Sayangnya, di Indonesia, stigma ini juga masih sangat terasa, meskipun jaman sudah serba canggih seperti sekarang. Pandangan tentang penyakit mental nyata adanya juga diangkat dalam film ini, yang lagi-lagi masih menjadi hal yang tidak dianggap nyata di Korea Selatan dan Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H