Penulis: Ramadhani Ayundi dan Witri Azkia (Pendidikan IPS A 2020)
Pernah kita dengar, kisah seorang anak yang berasal dari keluarga kurang mampu dapat lulus dari perguruan tinggi. Hal tersebut telah menjadi berita yang cukup menarik perhatian kita. Ini menandakan bahwa seolah-olah dunia pendidikan perguruan tinggi itu hanya untuk kalangan menengah ke atas saja sehingga sering dijadikan berita yang dianggap dapat menarik perhatian pembacanya, contohnya seperti kisah Raeni anak tukang becak yang sukses meraih gelar S3 di Inggris. Raeni merupakan sosok yang inspiratif karena walaupun berasal dari keluarga yang sederhana ia mampu mencapai pendidikan tingginya di luar negeri. Hal tersebut terjadi karena adanya tekad dan semangat yang besar untuk mewujudkan perekonomian keluarga menjadi lebih baik.Â
Pendidikan Raeni yang bagus dan cemerlang itu didukung oleh adanya bantuan pendidikan atau beasiswa yang dapat membiayai dirinya untuk menempuh pendidikan tinggi. Ia telah mendapat beasiswa dari  Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) pada 2018. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa beasiswa atau bantuan pendidikan itu seharusnya dapat membantu masyarakat yang ekonominya menengah ke bawah. Dengan demikian, adanya stigma bahwa pendidikan tinggi hanya untuk masyarakat ekonomi kalangan atas dapat kita patahkan stigma tersebut karena ada bantuan pendidikan atau beasiswa yang dapat memperingan mahalnya biaya pendidikan. Hal tersebut dapat menjadi contoh untuk penggambaran upaya pemerintah dalam mengatasi masalah pemerataan pendidikan. Akan tetapi, dalam mendapatkan beasiswa atau bantuan pendidikan tidak semudah itu karena seringkali terdapat hambatan dalam penerimaan beasiswa atau biaya pendidikan.Â
Oleh karena itu, kami tertarik untuk membahas apakah peran beasiswa itu dapat menjadi kontribusi yang tepat untuk masalah pemerataan pendidikan Indonesia. Kondisi pendidikan Indonesia sangat memperhatikan karena pendidikan masih belum merata, salah satu penyebabnya masalah biaya pendidikan yang sangat tinggi dan bantuan pendidikan pun belum terlalu menyebar ke seluruh masyarakat yang berekonomi rendah. Biaya pendidikan di Indonesia masih terbilang mahal sehingga pendidikan pun masih belum terjangkau untuk siswa maupun mahasiswa yang memiliki kondisi perekonomian yang rendah. Masalah biaya pendidikan ini juga dapat membuat masyarakat sulit dalam mengakses pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi sehingga dapat dikatakan banyak siswa maupun mahasiswa yang putus sekolah tidak melanjutkan proses pendidikannya akibat terhalang biaya. Masalah biaya pendidikan selalu berkaitan dengan jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Jadi, dapat dikatakan semakin tinggi jenjang pendidikannya maka semakin besar biaya yang harus dikeluarkan untuk menunjang pendidikan.Â
Berdasarkan data BPS di atas, data tersebut menjelaskan bahwa biaya yang dikeluarkan setiap jenjangnya itu berbeda-beda dan semakin tinggi seseorang menempuh suatu jenjang pendidikan maka ia harus mampu membayar sesuai dengan biaya tinggi yang sudah ditentukan. Dari data tersebut, untuk jenjang SD/Sederajat telah memerlukan rata-rata total biaya sebesar 3,24 juta rupiah. Untuk jenjang SD tersebut saja sudah terbilang tinggi apalagi dengan rata-rata total biaya pendidikan jenjang perguruan tinggi yang mencapai 14,47 juta rupiah. Dapat dikatakan, biaya perguruan tinggi memang relatif lebih mahal sehingga sebagian besar masyarakat ekonomi rendah atau menengah ke bawah memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan tinggi tersebut akibat perlunya biaya yang sangat banyak.Â
Selain itu, tingginya biaya pendidikan dapat dilihat dari lingkup tempat, yaitu perkotaan dengan perdesaan serta dalam lingkup jenis sekolah, yaitu sekolah/perguruan tinggi negeri dan swasta.Â
Dapat dilihat dari data tersebut, bahwa terdapat perbedaan rata-rata total biaya pendidikan antara siswa/mahasiswa yang tinggal di daerah kota dengan daerah desa menurut setiap jenjangnya. Secara jelas, jenis sekolah swasta lebih besar pengeluarannya untuk biaya pendidikan dibandingkan sekolah negeri, contohnya pada perguruan tinggi swasta, rata-rata biaya yang dikeluarkan itu sekitar 17,01 juta dibandingkan rata-rata biaya yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi negeri yang hanya sekitar 12,71 juta. Dapat disimpulkan bahwa terdapat range antara biaya perguruan tinggi swasta dan negeri dengan selisih sebanyak 4,3 juta. Selain itu, rata-rata biaya pendidikan di perkotaan pun lebih mahal daripada di perdesaan, untuk biaya perguruan tinggi di perkotaan dapat mencapai 15,23 juta dan perdesaan pun dapat dikategorikan pengeluaran biaya yang tinggi sekitar 12,13 juta rupiah. Untuk lingkup perdesaan, biaya yang ditampilkan oleh data di atas termasuk sangat mahal mengingat tidak semua orang di perdesaan maupun di perkotaan itu memiliki ekonomi yang mapan dan cukup untuk membayar biaya pendidikan, terutama dalam melanjutkan pendidikan tinggi. Hal tersebut sangatlah menggambarkan mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sehingga sulit tercapai pemerataan pendidikan jika masalah biaya pendidikan ini tidak bisa diatasi. Â
Dalam kenyataannya, mahalnya biaya pendidikan ini dapat menghambat proses persebaran pendidikan sehingga masyarakat yang tidak mampu meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi bahkan ada masyarakat yang tidak bisa bersekolah akibat biaya pendidikan yang tinggi. Hal ini sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Pasal 31 ayat (1) yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Selain itu, pendidikan di Indonesia pun telah mewajibkan para peserta didik untuk mencapai wajib belajar 12 tahun. Akan tetapi, ironinya masih banyak masyarakat yang tidak bisa menikmati pendidikan yang berkualitas sampai tamat karena adanya keterbatasan dalam status sosial yang berkaitan dengan kondisi biaya yang tidak cukup untuk membayar biaya sekolah ataupun biaya kuliah. Â
Menurut Deputi Menteri Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan Dan Moderasi Beragama, Kemenko PMK Prof Dr R Agus Sartono mengatakan bahwa setiap tahun sekitar 3,7 juta siswa yang lulus SMA/SMK Sederajat dan tidak semua siswa tersebut dapat meneruskan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Dari data Kemenko hanya 1,8 juta lulusan SMA/SMK Sederajat yang dapat meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Jadi, dapat disimpulkan siswa lulusan SMA/SMK Sederajat yang berjumlah 1,9 juta belum bisa melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Hal tersebut diakibatkan tidak jauh dari kondisi keterbatasan ekonomi masyarakat tersebut.Â