Mohon tunggu...
Ramadhani Arumningtyas
Ramadhani Arumningtyas Mohon Tunggu... -

pendamping sosial bagi wanita pekerja seks dan Orang Dengan HIV/AIDS.\r\n\r\nThe world is a book. Travelling is like read page one.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Meningkatnya Jumlah Pekerja Seks Anak di Kalimantan Timur

21 April 2014   17:39 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:23 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pekerja seks anak di lokalisasi Prakla, Bontang

Pada tahun 2013, pada dua lokalisasi Kalimantan Timur,yaitu lokalisasi Prakla Bontang dan Santan Ulu, Kukar terdapat sekitar 31% dari pekerja seks berusia 15 – 24 tahun.Artinya bahwa dari 2.344 wanita pekerja seks, terdapat 740 di antaranya adalah remaja dan anak-anak. Fakta lainnya menunjukkan bahwa sebagian besar pekerja seks di lokalisasi yang terinfeksi HIV adalah berusia di bawah 25 tahun.(Sumber: Yayasan LARAS Indonesia)

Kalimantan Timur adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki pendapatan terbesar dari segi pertambangan. Sekitar 10% dari tenaga kerja bekerja di sector pertambangan baik batu bara maupun minyak. (Sumber: http://kaltim.bps.go.id). Pendapatan daerah Kaltim per tahun selalu meningkat, pada tahun 2012 mencapai $US 985 juta. Namun dengan semakin majunya industry pertambangan, semakin meningkat pula dampak social ekonomi yang tumbuh di masyarakat, salah satunya adalah pelacuran. Kesulitan perekonomian keluarga akhirnya memaksa anak-anak, yang seharusnya bersekolah, menjadi pekerja seks. [caption id="" align="aligncenter" width="490" caption="pekerja seks anak di lokalisasi Prakla, Bontang"][/caption]

Lokalisasi di Kalimantan Timur semakin dipenuhi oleh anak-anak. Ketika pemerintah melakukan razia identitas di lokalisasi, sebagian dari mereka berbohong kepada petugas tentang usia mereka. Ada berbagai penyebab anak bekerja di pelacuran, yaitu inisiatif sendiri, ajakan teman/keluarga, maupun karena korban perdagangan anak. Pekerja seks anak terbanyak di Kaltim berasal perdagangan anak dari daerah terpencil di Jawa dan Sulawesi. Modusnya, anak-anak tersebut diiming-imingi sebuah handphone dan pekerjaan dengan gaji besar oleh seorang teman. Perekonomian keluarga yang buruk mendorong anak tersebut meninggalkan rumah tanpa izin dari orang tua.

Anak dari keluarga yang rapuh secara ekonomi akan gampang terpengaruh oleh mafia perdagangan anak di lokalisasi. Ketika menyadari mereka hanya menjadi korban penipuan, para mucikari sudah membebani korban dengan hutang besar. Hutang berasal dari biaya transportasi dan akomodasi dari perjalanan mereka. Hutang menjadi hambatan mereka keluar dari dunia prostitusi. Hal serupa dialami oleh Ayu (samaran), seorang wanita pekerja seks di lokalisasi Kaltim. Ia mulai menjual diri sejak berumur 16 tahun, karena diajak teman yang mengaku telah berpendapatan besar. Ayu meninggalkan sekolah dan orang tuanya demi tawaran tersebut. Ayu begitu muda dan berparas cantik, ia sungguh popular di lokalisasi tersebut. Ia menggunakan narkoba jenis Meth dan ketergantungan alkohol. Pada tahun 2009, ia divonis terinfeksi HIV melalui VCT yang diselenggarakan LSM LARAS (LSM peduli HIV/AIDS).

Yayasan LARAS adalah LSM yang sejak 2003 mendampingi pekerja seks, ODHA, dan pengguna narkoba di Kaltim. Ayu adalah satu dari sekian banyak anak yang terinfeksi HIV yang didampingi oleh Yayasan LARAS. Kerentanan anak-anak di lokalisasi semakin meningkat karena tidak dibarengi pemahaman tentang bahaya HIV/AIDS.Fakta lainnya, terdapat pekerja seks anak lainnya bernama Ambar (18), ia terinfeksi HIV dan harus menyesali ketika hamil dan menularkan HIV kepada bayinya. Pengetahuan yang tidak memadai tentang perawatan bayi ODHA, membuat bayinya meninggal ketika baru berumur 1 bulan. Kerentanan terhadap HIV/AIDS akan meningkat jika pemerintah terus menjadikan pekerja seks sebagai objek bukan subjek dari program tersebut.

Secara De Yure, pemerintah Indonesia tidak pernah melegalkan pelacuran sehingga tidak ada payung hukum yang melindungi pemenuhan hak pekerja seks. Padahal terdapat anak-anak yang terlanjur berada di lokalisasi dan tetap harus dilindungi oleh negara. Implementasi Undang Undang Perlindungan Anak no.23 Tahun 2002 masih jauh dari harapan karena hukum yang terkotak-kotak antara pelacuran dan perlindungan anak. Oleh karena itu, pemerintah wajib melindungi anak-anak yang bekerja di lokalisasi tanpa ancaman kriminalisasi dan hukuman pemulangan. Langkah tersebut dapat dimulai dengan perumusan kebijakan perlindungan anak yang komprehensif tanpa pandang bulu, yang akhirnya dapat mereduksi kerentanan anak terhadap HIV/AIDS.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun