Kenaikan TDL yang sudah mulai diberlakukan mulai 1 Juli 2010 kemarin ternyata banyak menuai kontroversi, terutama dari pihak industri baik industri besar maupun industri kecil. Isu ini bukannya semakin menurun, malah semakin meningkat dikarenakan terdapat ketidak transparan pemerintah dalam menetapkan peraturan ini.
Dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 07 Tahun 2010 Tentang Tarif Tenaga Listrik, yang merupakan landasan hukum kenaikan TDL kali ini, disebutkan bahwa kenaikan TDL untuk industri berkisar 6 – 12%. Namun ketika kita telaah lebih dalam terkait kenaikan ini, harga TDL yang naik adalah harga LWBP (Luar Waktu Beban Puncak), dari sekitar Rp.450 per KWh menjadi Rp.680 per KWh, yang memang kenaikannya konsisten, berkisar 6 – 12%. Akan tetapi, pemerintah menetapkan adanya koefisien pengali K, yaitu koefisien pengali saat beban puncak terjadi (WBP), yang berkisar antara 1,4 sampai 2. Sehingga total kenaikan tagihan yang harus dibayar industri adalah sekitar 30 – 60%.
Kita dapat melihat juga bahwa memang langkah ini sangatlah tepat untuk meraup keuntungan yang sangat besar untuk PLN, mengingat sektor industri adalah sektor yang terbesar membutuhkan pasokan listrik PLN. Sekitar 60 – 80% dari daya yang dipasok PLN se-Indonesia digunakan oleh pihak industri, meskipun secara kuantitas pemakai, pihak industri hanya sekitar 15% dari total konsumen PLN.
Banyak kalangan dari pihak industri sudah sedari awal sadar akan hal ini, sehingga beberapa asosiasi industri seperti HIPMI dan API sudah mulai melakukan konsolidasi untuk menuntut transparansi pemerintah bahkan hingga menunda penangguhan kenaikan TDL. Pasalnya, kenaikan ini akan berdampak pada kenaikan biaya produksi suatu barang sekecil-kecilnya adalah 4%.
Kenaikan biaya produksi 4% mau tidak mau akan berimplikasi pada kenaikan harga jual produk sebuah industri juga 4%, dan ini terjadi pada rantai industri pertama. Hal yang akan lebih parah terkena dampaknya adalah apabila rantai industri suatu produk adalah sangat panjang, dalam artian membutuhkan bahan baku yang banyak (yang juga tentunya disuplai oleh hasil produk industri). sehingga hal ini akan menimbulkan multiplier effect yang sangat besar hingga ke tangan konsumen. Kenaikan berlipat akan terjadi, dan harga-harga barang akan semakin meningkat.
Sementara, dari target inflasi pemerintah pada akhir tahun ini sebesar 5% saja kita sudah dapat menilai bahwa ini tidak akan tercapai, kenaikan TDL turut mempercepat kenaikan inflasi hingga banyak ahli menghitung bahwa inflasi pada akhir tahun 2010 ini akan lebih dari 5%. Kondisi juga diperparah dengan akan hadirnya bulan Ramadhan pada sekitar pertengahan Agustus, dimana adalah suatu kepastian bahwa harga barang akan semakin melambung tinggi. Jadilah rakyat secara luas yang akan terkena dampaknya. Harga yang naik akan semakin memperkecil daya beli masyarakat, yang akan berdampak pada berkurangnya permintaan terhadap barang tersebut. Jikalaupun pihak industri mengambil langkah nekat untuk tidak menaikkan harga jual produknya, maka implikasi yang sering terjadi adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Lebih lanjut, kalangan industri dan beberapa pengamat perekonomian mengatakan bahwa skenario kenaikan TDL ini sangatlah tidak tepat. Hal ini dikarenakan sektor industri yang merupakan sektor produktif terkena kenaikan yang sangat besar, yang pastinya akan membuat harga barang termasuk barang massal naik. Seharusnya sektor produktif seperti industri tidak perlu dinaikkan, sebaliknya seharusnya sektor konsumtif yang harus dinaikkan (atau dalam hal ini pengurangan subsidi listrik), seperti rumah tangga mewah, bisnis perhotelan, pusat perbelanjaan, kantor-kantor pemerintahan, dan lainnya. Kenaikan harga yang terjadi pada sektor konsumtif tidaklah berdampak signifikan terhadap masyarakat luas. Sebagai contoh, ketika harga sewa kamar hotel naik, maka yang terkena dampaknya adalah para tamu yang menginap yang harus membayar lebih mahal dari biasanya. Beda ketika harga shampoo, sabun, baju, makanan, dan minuman naik, yang dampaknya sangatlah luas.
Ketika harga TDL sektor konsumtif dinaikkan, hal ini akan membuat masyarakat “dipaksa” untuk melakukan penghematan, dan pada akhirnya langkah penghematan yang selama ini diopinikan akan semakin efektif. Untuk tarif TDL dengan daya 450VA dan 900 VA, kebijakan tidak dinaikkan sampai saat ini merupakan kebijakan yang tepat mengingat 33,2 juta dari total 40,1 juta pelanggan PLN ada pada rentang daya ini. Namun, hal ini tidak juga menjamin langkah penghematan masyarakat akan semakin besar, sehingga perlu dilakukan batas pemakaian subsidi untuk segmen ini. Jadi ketika sudah melewati batas KWh per bulannya, tarif yang dikenakan adalah tarif dengan subsidi kecil.
Langkah pemerintah dalam menaikkan TDL dinilai populis, seakan-akan memberitahukan bahwa rakyat kecil yang berjumlah sekitar 33,2 juta akan aman dari kenaikan. Sehingga yang protes terhadap kenaikan ini adalah pihak industri. Namun dampak kenaikan harga-harga barang produksi lambat laun akan dirasakan masyarakat. Hal ini ibarat “menyakiti dengan cara yang lebih halus”, dan lagi-lagi rakyatlah yang akan menjadi korban. Sudah saatnya kita semua cerdas dan peduli terhadap pengelolaan negeri ini. Pengurangan subsidi sebenarnya bertujuan baik agar masyarakat tidak semakin manja, namun hendaknya pengurangan ini ditujukan kepada pihak yang tepat, yaitu konsumtif, bukan produktif.
Ramadhani Pratama Guna
Mahasiswa Teknik Industri ITB Angkatan 2007
dhani_aja_lah@yahoo.com
http://iniblogdhani.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H