kalau matahari belum muncul di atas kepala baraku
sembunyilah di balik ilalang yang bersyair; ia takkan
bosan berputar-putar mengiringi partitur angin
yang melayangkan kertas-kertas para Darwis
barangkali lelaguan Cinta mereka mampu meredam
getaran-getaran halusku; sampai kalian memberi izin
dengan hati itu, aku rela menghentikan detak Jantungku
yang selalu berdegup Rindu dengan caraku yang asing itu
demi takdir yang diukir ujung jarum jam dinding rumahmu;
detiknya adalah cangkir semesta yang menampung air-air itu
tiap kamu mengacuhkannya, aku bergetar seperti snooze dalam
kepalamu; sekalipun saat ia memberi waktu padamu untuk sekedar
minum obat nyeri kepala
beginilah airmataku; tak ada Cinta yang mampu menyihirnya
kecuali atas restu hatimu. Hatimu adalah laut dingin yang teramat
maka siramlah aku dengan Airnya itu; Air yang selama ini
menjadi dawam lidah-lidahmu selama berabad-abad
buatlah aku menangis dengan tangisan syahdumu
sihirlah airmataku menjadi airmata hujan yang dingin
hingga mengetuk satu persatu tulangmu; dingin yang
kemudian menjadi lonceng pengingatmu dengan gigilnya
dan gigil itu akan mengingatkanmu pada-Nya.
---
elmoccava, Jakarta, 2014
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI