ﺃ
keluargaku, membangun rumah di dalam balon gas yang lonjong
semenjak ayah melempar adikku dari jendela apartemen kami.
seperti boneka merah yang melayang di udara; ia tidak jatuh,
dari punggungnya yang kecil, ia mengeluarkan seribu sayap kupu-kupu
yang didapatnya bersamaku di taman kota. aku baru sadar,
adikku itu, tidak lahir dari Rahim ibu kami; dan saat itu,
aku mencintainya.
ب
lagikah ayah menyakitinya, adikku yang manis, meskipun ibuku
menghardiknya? Ayah kami memiliki perempuan lain, dan merubahnya
dalam sejekap menjadi anjing; ayah yang gagah, ibu yang lemah,
kami menjadi keluarga yang indah dari segelintir orang-orang biadab
keluargaku sangat normal; setiap hari kami memperebutkan kue ulang tahun,
lalu melemparnya ke muka orang yang paling menyebalkan;
kami melakukan itu, sebab kami tidak pernah tahu hari kelahiran,
tetapi syukurlah aku mengetahui di mana aku dilahirkan;
ya, di sana, di semak-semak yang menjulang di tengah kota;
tempat aku dan adikku kencing sembarangan.
ت
aku tidak tahu berapa usia adikku, tetapi sepertinya ia lebih tua dariku.
sebab ia berpikir seperti burung elang yang menusukkan
cakarnya di tubuh ular kadut; ia tak langsung memakannya, ia akan mengajaknya
berdiskusi mengenai kehidupan sebagai tanda perpisahan;
“kematian mesti diakhiri dengan cara yang bijaksana,”
sekilas, aku memerhatikan adikku; ia lebih mirip thinkerbell,
dengan dua pasang sayap capung betina yang cantik.
karena itulah, aku mencintainya.
ث
demikian sejak ayah membangun rumah di dalam balon,
aku hanya bisa menertawakan diriku sendiri;
sebab aku tidak tahu, siapa lagi yang mesti kucintai,
sementera mereka, tak pernah mengajariku soal cinta!
---------------------------------
Bekasi, 2014
Sumber gambar: society6.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H