Mohon tunggu...
Gilang Ramadhan
Gilang Ramadhan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Mantan Guru • S1 Bahasa dan Sastra Indonesia • Bergiat di Kembara Rimba dan Salam Semesta • Warga Gg. Mangga Garis Lurus

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Wajah Kopi di Hari Tanpa Gula

14 April 2018   02:55 Diperbarui: 14 April 2018   03:14 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: assets.saatchiart.com

1

Di atas meja makan itu aku melihat lagi wajahnya menjatuhkan bayangan hutan yang kering, dan pohon-pohon hitam, tanpa daun dan burung. Aku mendengar lagu-lagu bisu keluar dari mulutnya, berjatuhan ke cangkir kopi; kesedihan berletupan seperti air rebus, tapi, lebih serupa tawa anak kecil yang bermain bersama orang gila.

Di sana malam mengalir seperti sungai, terkadang hijau atau biru. Sementara gelap terpejam di kamarnya dan mendengkur di antara bunga liar yang tumbuh di atas tempat tidur. Sesekali satu buku terdengar membacakan sebuah dongeng di atas telapak tangannya. Bayangan yang lain menggambar ruang tamu, tempat hari-hari berserakan di kolong sofa dan menari-nari di tubuh arsip dalam lingkaran musik, terkadang membunuh tv.

Di atas meja makan itu musim kemarau memanggil hujan dengan siulan perut lapar. Dan di cangkir kopi, bayangan itu, leburan hari-hari dari biji bulan, dari mata siang dan malam, dari bintang-bintang yang terendam di genangan keringat yang hangat; mengepul di bawah wajah yang mulai susut.

2

Dia tak pernah ingin menemui cermin yang mengingatkannya pada lorong panjang berbatu dan sore yang merah, yang membawanya kembali pada hari minggu di mana mimpinya menaburkan banyak warna di atas buku gambar, suatu masa, seolah-olah kota ini bukan neraka.

3

Dia berbisik sekarang; tanpa gula.

4

Hutan itu tumbuh dan bicara, pohon-pohon berdiri di atas bayangannya sendiri, memiliki daun dan burung dan bunga. Sekarang dia menggambar kota, bintang-bintang berbayang di lautan yang dikuasai ikan buas. Kini aku berhenti berpikir. Semua kulihat kembali ke cangkir kopi. Dan yang dibutuhkannya hanyalah tiga sendok gula untuk menikmati hidup di malam yang panjang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun