Aku lagi duduk di kursi yang menyebalkan. Akhirnya kursi itu mematahkan kakinya sendiri dan menunjukkan supaya aku tidak duduk di sana, dan sepertinya aku melihat sebuah pohon kecil hampir tumbang. Sebuah ruangan menampakkan topeng dan lemari pendingin di atas meja, dalam kegelapan dan kesejukan kabut di kaki papandayan. Aku menyaksikan lukisan sepasang ondel-ondel menertawai isi kamarku.
Kursi itu tidak pernah pergi keluar Indonesia.
Jadi tiga bulan ini aku memelihara burung di kepalaku,
pemandangan hutan dan kebun binatang,
bumi yang sesak,
sebuah perpustakaan---
satu tempat di mana, aku bisa membayangkan semuanya menciumku
di atas tempat tidur baru
dan mengenang kembali mimpi basah pertama
Mestinya aku diam, tapi di sini ada gempa yang membelah tempurung kepala. Itulah sebabnya cermin di lemari merasa kepingin mau pecah. Dan itulah sebabnya aku kesulitan mengenakan sepatu, segala sesuatunya tampak terbalik dan bergerak mundur. Pacarku bahkan punya wajah kedua di balik kepalanya, supaya tidak diasingkan oleh jarak dan tahu bagaimana caranya berlari mundur dan menamparku. Sementara kursi itu rasanya mau aku lebur jadi padang rumput, di mana aku bisa melihat bintang-bintang bertebaran di laut yang gelap dan wajah anak-anak sekolah kerlap-kerlip, kumpulan teks dalam buku pelajaran yang bilang, "Datanglah padaku pelan-pelan, beri aku waktu mengudap makanan yang gurih-gurih dan kita akan bermimpi lagi."
Besok aku mau duduk di kursi yang lain. Lagipula aku bukan penghuni gua tanpa lagu bebop a lula. Buku-buku terbang dan hinggap di pundakku. Anak-anak sekolah duduk main dota dan ml, menunggu bel pulang berteriak, anak-anak yang duduk di kursi tanpa sayap. Sementara sepatuku tiba-tiba pergi mencari sebuah kursi.