Aku tak lagi memiliki inspirasi,
tak ada lagi kudengar riuh pepohonan berpuisi,
tak juga semilir angin menyampaikan kesegaran syair imajinasi.
Aku seperti wajah tanpa mata,
tak melihat namun hanya mampu menatap khayalan.
Seumpama jiwa-jiwa yang terhempas,tersungkur dalam kemelut prahara.
Tubuhku diam,harapanku menganga dalam singit matahari korban remuk peradaban.
Hari-hariku menjadi kegelisahan yang terbentur
diufuk timur-barat,terlempar keselatan-utara dan terbengkalai pada dalamnya sumur zaman.
Nafasku hanya mencium bau kematian manusia-manusia yang di tawan kemiskinan,kekalahan duniawi menuju tanah kemenangan surgawi.
Hukum materi menjadi hakim keadilan yang mengetukan palu keberhasilan,
nilai budaya leluhur menjadi bungkusan bangsa yang tersimpan di bawah peti-peti ambisi distorsi.
Suara hati dianggap sebagai kebenaran hakiki,menjauhkan posisi Tuhan dari nyala kepedulian manusiawi dan gagasan cemerlang harta menjadi sikap yang merajai rohani.
Kesadaran spiritual seperti dada pelampiasan kekasih yang bersemayam dalam lembah pelupaan dan bersemedi di balik dinding tradisi.
Tak banyak lagi kudengar syair para nabi di puji,melangkah pergi rindu Illahi mengilhami
terusir nafsu asmara duniawi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H