Indonesia sebagai salah satu negara yang menganut sistem demokrasi, maka wajib hukumnya menjalankan proses pemilu, sejak 1955 hingga februari lalu Indonesia telah melaksanakan pemilu. Dan tepat pada tanggal 27 November nanti sbeluruh daerah dari ujung timur hingga ujung barat Tanah air akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (PILKADA). Dalam hal ini Nusa Tenggara Barat (NTB) juga tak kelewatan dengan isu PILKADA tersebut.
Berbagai macam partai politik telah melayangkan dan mendeklarasikan pilihan dukungan kepada para kandidat calon  kepala daerah gubernur dan wakil gubernur. Dalam hal ini ada 3 kandidat calon kepala daerah gubernur dan wakil gubernur yang sudah di tetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nusa Tenggara Barat (NTB) sejak 22 September lalu.
Tentunya dalam hal ini berbagai macam harapan Masyarakat terhadap calon pemimpin NTB yang akan mengambil peran menentukan kebijkan daerah kedepannya. Mau siapapun yang akan terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur, haram hukumnya jika tidak mendengar dan menindak lanjuti apa yang di rasa dan di alami oleh masyarakat.Terlepas dari seluruh kepentingan sektoral dan lebih-lebih personal.
Salah satu tokoh ilmuwan politik Amerika, Harold Lasswell, beliau pernah mengatakan bahwa "who gets, what gets, when gets, how gets". Artinya bahwa politik menurut Lasswell adalah siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana. Dalam konteks pertarungan politik di PILKADA kali ini juga tentunya menjadi spirit setiap orang dengan berbagai kepentingan sectoral dan personal tersebut.
Hal yang menarik justru ketika banyaknya pemilih muda. Semenjak pemilu februari lalu tercatat data nasional oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) ada sekitar 55% pemilih muda yang ikut serta menyumbang hak suaranya. Dalam hal ini di Nusa Tenggara Barat (NTB) ada sekitar 54,04 % dari jumlah daftar pemilih tetap sebanyak 3,91 juta orang. Artinya ada sekitar 2,1 juta anak muda di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang akan memilih.
Pertanyaan yang paling krusial adalah apakah pemilih muda di NTB hanya sekedar ikut-ikutan memilih atau memang menimbang banyak hal dalam soal memilih dan memilah pemimpin tersebut? Karena suara anak muda inilah yang paling menarik, makanya para pasangan calon berebut suara anak muda. Tak heran banyak strategi kampanye para pasangan calon untuk memikat suara anak muda tersebut. Dan salah satu strategi kampanye yang di gunakan oleh para pasangan calon yaitu melalui sosial media. Tak terbendung lagi pastinya, karena pelaku dan pegiat sosial media memang di dominasi oleh anak muda.
Menurut J. Coleman ada tiga jenis tipologi pemilih,
A.Rasinoal, yaitu tipologi pemilih yang mengutamakan rasonalitas
B.Irrasional, yaitu tipologi pemilih yang tidak mempertimbangkan apapun, hanya mengandalkan emosi
C.Aktif-passiv yaitu tipologi pemilih yang memang tidak mudah untuk melayangkan pilihan
Bayangkan ketika pemilih muda ini di dominasi oleh jenis tipologi pemilih yang irrasional, artinya tidak ada skala pertimbangan yang hanya sekedar memilih tanpa memilah. Hemat saya jangan sampai suara anak muda ini menjadi kambing hitam yang hanya sekedar di manfaatkan untuk kontrak politik saja. Dan itu perlu kita atensikan bersama, bahwa memilih seorang pemimpin tidak hanya sekedar datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) setelah itu apa? Setelah pemimpin itu jadi, apakah bisa menjamin kesejahteraan anak muda? terlebih seluruh Masyarakat? Kan tidak. Ini kan kadang-kadang kita jadi anak muda, saking labilnya siapapun yang sering muncul di fyp tiktoknya maka itu pilihan politiknya, ya itu sih fine-fine saja memang, tapi coba di refleksikan lebih jauh itu miris sekali, tak ada nilai sekali rupanya jika begitu. Buatlah suara kita para anak muda ini bernilai, apalagi setiap hari menggaungkan masa depan 2045, sedang Ketika memilih pemimpin saja tidak ada skala pertimbangan sama sekali. Maka tak heran Ketika paslon manapun itu mengkacangi suara kita. Bertobat lah dari hal-hal semacam itu.