Negara Indonesia baru saja menyelenggarakan Pilkada serentak untuk pertama kalinya. Ada 1.556 paslon bertarung untuk menjadi orang nomor 1 di 37 provinsi, 451 kabupaten dan 93 kota. Ada juga dana sebesar 37,52 triliun rupiah yang dikucurkan untuk menjalankan even akbar ini belum termasuk biaya keamanan. Kegiatan yang memakan energi besar ini mempunyai 1 tujuan, memilih pemimpin di daerah.
Pilkada serentak ini menggunakan mekanisme pilkada langsung dimana rakyat memilih langsung calon pemimpinnya. Pilkada langsung yang pertama kali diadakan pada tahun 2005 adalah buah dari era reformasi dimana sebelumnya pada zaman orde baru pemilihan kepala daerah dipilih oleh pemerintah pusat setelah diajukan oleh DPRD. Perubahan mekanisme ini tak lain dikarenakan  publik pada saat itu ingin segala hal yang berbau orde baru diganti dengan sistem yang baru. Hasil yang diharapkan dari perubahan mekanisme ini adalah terpilihnya pemimpin daerah yang mampu mensejahterakan daerah yang dipimpinnya atau paling tidak mampu menjalankan amanah dari rakyat dengan tidak melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme, penyakit pada zaman orde baru.
Tapi seiring berjalannya waktu, ekspetasi masyarakat terhadap pemimpin di daerah tidak sejalan dengan realita. Kepala daerah hasil mekanisme pilkada langsung yang diharapkan mampu menjalankan good governance good government justru menjadi  public enemy. Menurut KPK ada 167 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi dalam rentang waktu 2004 sampai 2024. Hal ini menjadi ironi. Usaha dan biaya yang besar dari negara tidak mampu menghasilkan kepala daerah yang setidaknya bebas korupsi. Bahkan bisa dibilang mekanisme pilkada langsung menjadi penyebab utama prilaku korupsi. Biaya kampanye yang tinggi yang merupakan bagian dari mekanisme pilkada langsung jadi salah satu faktor penyebabnya. Hal ini sejalan dengan apa yang pernah dikatakan oleh Alexander Marwata, wakil ketua KPK, "Kami melakukan survei, ya kepala daerah tingkat 2 itu paling nggak menyediakan dana itu 20-30 miliar rupiah, gubernur itu di atas 100 miliar" ucapnya. Biaya politik yang mahal dan ketidak mampuan para kepala daerah menutupnya menjadi triger para pemimpin daerah melakukan korupsi.
Setelah kita melihat hasil dari pilkada langsung ini kita bisa mengambil kesimpulan kalau pilkada langsung ini tidak bermanfaat sama sekali. Selain penyelenggaraannya yang memakan biaya besar  outputnya pun hanya menghasilkan pelaku-pelaku korupsi. Ibarat kata negara rugi dua kali. Maka dari itu, karena tidak membawa manfaat sama sekali sudah selayaknya even pilkada ini dihentikan, baik pilkada langsung maupun pilkada tidak langsung.
Ide menghentikan pilkada ini juga tidak serta merta tanpa solusi pengganti. Lalu apa solusi penggantinya? Disini saya menawarkan sebuah ide solusi kepada negara. Ide ini praktis bisa dikatakan tanpa kekurangan sama sekali karena sebetulnya konsep dari ide ini sudah berjalan selama ini di Indonesia dan berjalan dengan baik. Ide ini menyasar ke perubahan di daerah kabupaten/kota daripada provinsi dengan pertimbangan tidak merubah banyak sistem pemerintahan yang berlaku saat ini. Sedikit perubahan dengan hasil yang besar. Ide solusi ini adalah dengan merubah status kabupaten/kota menjadi kabupaten/kota administrasi. Ide ini saya beri nama Perampingan Daerah Otonomi. Berikut pemaparannya:
Di Negara Indonesia ada 2 tipe kabupaten/kota yaitu kabupaten/kota dan kabupaten/kota administrasi. Kabupaten/kota administrasi cuma ada di Provinsi Daerah Khusus Jakarta yaitu Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Utara, Kota Jakarta Timur, Kota Jakarta Selatan, Kota Jakarta Barat dan Kabupaten Kep. Seribu. Perbedaan kabupaten/kota dengan kabupaten/kota administrasi adalah tidak adanya hak otonomi di kabupaten/kota administrasi karena hak otonominya berada di tingkat provinsi. Kabupaten/kota administrasi berada dibawah komando pemerintah provinsi dan di kabupaten/kota administrasi tidak mempunyai DPRD kabupaten/kota. Kabupaten/kota administrasi tetap dipimpin oleh bupati/walikota hanya saja jabatan ini adalah jabatan struktural bukan jabatan politik. Bupati/walikota dari kabupaten/kota administrasi dipilih dari ASN dan diangkat oleh gubernur dan bertanggung jawab kepada gubernur.
Jadi dengan kata lain ide ini adalah membuat skema pemerintah provinsi seluruh Indonesia menjadi sama persis seperti Provinsi DK Jakarta yang memiliki kabupaten/kota administrasi dibawahnya.
Jika ide ini diterapkan oleh negara maka banyak keuntungan yang dapat diperoleh, antara lain:
1. Penghematan Biaya Pilkada
Di tahun 2024 Negara Republik Indonesia menyelenggarakan dua kali pemilihan yaitu Pemilu yang diadakan pada tanggal 14 Februari dan Pilkada Serentak pada tanggal 27 November. Dari dua kali pemilihan itu total ada 7 calon yang dicoblos masyarakat -5 calon di Pemilu dan 2 calon di Pilkada- untuk mengisi posisi sebagai Presiden/wakil presiden, anggota DPD, anggota DPR, anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, Gubernur/wakil, Walikota/wakil. Jika ide solusi ini dilakukan maka hanya akan ada 5 calon yang akan dicoblos masyarakat karena pilkada bupati/walikota dan lembaga DPRD kabupaten/kota ditiadakan.
Dikarenakan hanya tinggal 5 calon yang akan dipilih masyarakat yaitu Presiden/wakil, anggota DPD, anggota DPR, anggota DPRD Provinsi dan Gubernur/wakil, maka semuanya dapat digabung ke dalam satu pemilihan dan tidak perlu lagi diadakan pilkada.