Sore kemarin, Minggu(23/9/2018) di Stadion Gelora Bandung Lautan Api pendukung Persija Jakarta bernama Haringga Sirila tewas dikeroyok pendukung Persib Bandung sesaat sebelum partai hidup mati Persib vs Persija. Di Jogja,(26/7/2018) Muhammad Iqbal juga menghembuskan nafas terakhir pada laga syarat gengsi PSIM Jogja vs PSS Sleman. Ini bukan lagi hal baru bagi wajah kusam persepakbolaan Indonesia, pada tanggal (11/10/2017) pertandingan Persita Tangerang vs PSMS Medan juga menyisahkan korban nyawa, Banu Rusman pendukung Persita dikeroyok pendukung PSMS yang pada saat itu adalah para prajurit TNI AD.
Tercatat dari berbagai sumber termasuk Save Our Soccer (SOS) ada 63 korban nyawa dalam berbagai peristiwa yang berhubungan dengan sepakbola Indonesia sejak tahun 1995, Â saya yakin diluar sana masih ada berbagai peristiwa tawuran yang menimbulkan luka hingga cacat mental ataupun fisik, bayangkan jika semua ini terjadi kepada teman,saudara,anak atau orang tua kalian. Tidak ada satupun pihak yang diuntungkan dalam peristiwa tewasnya seorang pendukung sepakbola, mulai dari rakyat biasa sampai mereka elit pengurus sepakbola Indonesia. Anehnya, tidak ada satupun dari kita yang phobia menonton sepakbola di Indonesia.
Ditengah gersangnya prestasi tim nasional juga ketidakseriusan PSSI dalam menangani setiap permasalahan sepakbola kita, saya sangat pesimis menaruh harapan lebih kepada mereka. Petinggi sepakbola negeri ini terlalu sibuk bagaimana mengambil untung secara finansial di setiap agenda. Mereka  tidak pernah mengajarkan sepakbola secara baik dan benar, apalagi menyebarkan tentang perdamaian.
Fanatisme dalam sepakbola memang sudah terlalu gila, terkadang lebih berbahaya daripada kecanduan terhadap zat narkotika. Jika dituangkan kedalam hal yang positif, fanatisme akan menimbulkan ribuan bahkan jutaan tepuk tangan dari seluruh mata dunia, koreografi dan nyanyian diatas tribun juga berbagai contoh positif lainnya. Pertanyaannya adalah lebih besar mana cinta kalian terhadap tim kebanggan dengan rasa benci kalian kepada musuh bebuyutan? Karena menanamkan rasa cinta terhadap kebanggaan bukan berarti harus membenci dan membunuh musuh, sepakbola tidak menyeramkan seperti itu. Kita semua tahu bahwa rivalitas adalah bumbu yang cukup sedap dalam setiap pertandingan sepakbola, tetapi rivalitas tak pernah mengajarkan bagaimana caranya menghabisi nyawa. Dengan mengedukasi diri sendiri dan lingkungan kecil tentang bagaimana fanatisme seharusnya disalurkan dengan cara yang positif bisa jadi tindakan nyata, karena kematian dibalas kematian adalah tindakan yang tak pernah akan selesai.
Sepakbola adalah kebahagiaan, kebahagiaan bernyanyi diatas tribun, kebahagiaan mengunjungi satu daerah ke daerah lain, kebahagiaan bertemu orang-orang baru. Sepakbola adalah kebanggaan, kebanggaan menggunakan identitas dan ciri khas, kebahagiaan memenangkan pertandingan, kebahagiaan mengangkat piala.
Jalan terbaik dari permasalahan ini adalah memaafkan, kubur dendam dan kebencian. Kita semua tahu memaafkan tak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi dengan memaafkan dan mengubur sedalam-dalamnya rasa dendam, kita bisa mengetahui betapa berharganya nyawa, betapa berharganya kehidupan. Biarkan mereka istirahat dengan tenang di alam sana, yakinlah suatu saat mereka akan tersenyum penuh bangga melihat kita berjabat tangan. Untuk siapapun yang telah pergi karena kerasnya sepakbola, bernyanyilah sekeras-kerasnya di surga dan terima kasih telah mengajarkan kami bagaimana mahalnya nyawa.
Damai...damai...saudaraku, jabat erat penuh kasih sayang, untuk apa terus bertengkar, pertemuan ini adalah kabar.
Malang,24 September 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H