Foto di atas saat ini sedang ramai menjadi pembahasan di jagat dunia maya selain karena itu merupakan dari rangkain rombongan kunjungan Presiden Jokowi menjelang akhir masa jabatannya ke Papua namun juga sebab sekelompok orang yang sedang menggunakan baju adat ketika menyambut Presiden sebab didominasi wajah bukan OAP (Orang Asli Papua). Â Foto yang memancing banyak aktivis Papua bersuara mengenai OAP yang mulai 'tersisihkan' di tanahnya sendiri. Sudah sangat lumrah sekali ketika ada pejabat dari pusat datang ke Papua dan disambut oleh pejabat lokal di Papua menggunakan baju adat atau acara-acara adat guna menyambut sekaligus memeriahkan kedatangan pejabat tersebut.
Terlepas dari baju adat yang kerap  kali dipakai oleh para pejabat di Papua terdapat  banyak sekali permasalahan terhadap masyarakat ada Papua yang mulai tergusur perlahan-lahan dari tanah leluhurnya sendiri. Akibat dari Undang-Undangan No 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang memudahkan investasi tentu saja Papua bakal menjadi salah satu target utama pengembangan industri ekstraktif yang tentu saja bakal bersinggungan dengan tanah ulayat milik masyarakat adat di Papua.Â
Misalnya saja pada kasus kasus mega proyek the Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang membawa dampak yang serius dan mengancam kehidupan Suku Malind Anim. Proyek MIFEE dimulai sejak 2010 dengan luas lahan yang dialokasikan 2,5 juta hektar dari luas total Kabupaten Merauke sekitar 4 juta hektar adalah bagian dari upaya pemerintah menjadikan Merauke sebagai lumbung pangan nasional. Akibat dari mega proyek tersebut adalah kelangsungan hidup masyarakat adat terancam, setelah hutan yang menjadi tempat masyarakat adat mencari makan dieksploitasi secara tidak adil menjadi lahan perkebunan maupun tambang. Masyarakat adat bakal kesusahan mencari makan sebab sagu sebagai sumber makanan sudah ditebang dan hewan buruan sudah hilang.
Saat ini juga masyarakat dari Suku Awyu sedang berjuang menggugat Pemerintah Provinsi Papua kerana mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). PT IAL mengantongi izin lingkungan seluas 46.094 hektar, itu seluas setengah dari Provinsi DKI Jakarta, dan berada di hutan adat marga Woro-bagian dari Suku Awyu. Sementara sub suku Moi Sigin melawan PT sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektar hutan adat milik Suku Moi Sigin untuk perkebunan sawit.
Tentu saja sangat menyedihkan melihat OAP yang lahir besar di hutan adatnya namun terpaksa terusir secara paksa dari tanah adatnya akibat dari persekongkolan licik antara birokrasi dan korporasi guna merebut tanah adat demi kepentingan investasi. Walaupun OAP tersebut bakal dipekerjakan di perusahaan tersebut tetap tidak menghadirkan rasa keadilan dan justru makin melanggengkan kesemena-menaan. Pemerintah seharusnya harus berhenti melihat Papua sebagai tanah kosong tanpa penghuni, sebab di tengah lebatnya hutan Papua tersebut hidup masyarakat-masyarakat adat yang sudah beribu-ribu tahun menjaga hutan Papua bahkan eksistensi mereka sudah ada sangat jauh sebelum negara ini hadir.
Nasib masyarakat ada di Indonesia khususnya yang berada di Papua ini sungguh menyedihkan di tengah keran investasi yang dibuka lebar-lebar dengan membuat perizinan dibuat semudah-mudahnya. Nasib para masyarakat adat kedepannya juga makin suram sebab bisa setiap saat tanah mereka terenggut, hal itu juga merupakan tempat pencaharian, rumah, bahkan tempat mereka mendapatkan kebahagiaan. Masyarakat adat tentu saja tidak hidup berkekurangan dan mereka bukan pengangguran justru mereka bekerja dan hidup berkecukupan, justru dengan merebut hutan adat dari masyarakat adat bakal mematikan masyarakat adat secara tidak langsung. Masyarakat adat harus terusir merantau ke kota mulai dari nol kehidupan mereka harus mencari kerja lagi, mencari rumah lagi, bahkan mencari makan lagi yang bisa jadi itu semua tidak bisa mereka dapatkan setelah terusir dari tanah mereka sendiri. Pemerintah harus lebih bijak dalam melihat permasalahan masyarakat adat khususnya yang terkait dengan hutan adat mereka.
Para pejabat sering menggunakan baju adat tetapi tidak memperjuangan nasib masyarakat-masyarakat adat. Para pejabat kerap kali menjual simbol-simbol atau mengenakan pakaian adat sebagai simbol 'orang Papua' membuat kebijakan yang mendukung masyarakat adat hal ini juga bahkan kita belum melihat dari aturan budaya bahwa pakaian/simbol adat hanya dikenakan pada momen dan orang tertentu namun bagi para pejabat hal itu tidak diacuhkan dan justru dipakai dengan sewenang-wenang dengan mereka. Rupanya selain merusak hutan adat dari para masyarakat adat rupanya para pejabat juga mulai merusak budaya masyarakat adat dengan menggunakan atribut dan simbol masyarakat adat sesuka mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H