Beberapa hari lalu Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengabulkan sebagian gugatan uji materi dari Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terkait ketentuan ambang batas 4% suara sah nasional (Parliamentay Threshold) yang diatur pada Undang-indang Nomor 7 Tahun 2027 tentang Pemilu. Putusan Perkara nomor 116/PUU-XXI/2023 itu dibacakan pada 29 Februari 2024.
Pada putusan 116 tidak meniadakan threshold sebagaiman dibacakan pada amar putusan namun MK memutuskan amabang batas ditentukan sendiri oleh pembentuk undang-undang yaitu DPR RI dan Pemerintah. Pada putusan soal Parliamentary Treshold, MK berharap dapat mengurangi disproporsionalitas yang semakin tinggi. Dalam pengamatan MK justru menyebabkan suara sah terbuang.
Keputusan ini bak angin segar ditengah gersangnya Pileg 2024. Sebab pada dasarnya parliamentary threshold sebenarnya membelengu demokrasi kita sebab beberapa caleg jika terpilih di dapilnya bisa saja tidak dapat melaju ke senayan sebab partai politiknya tidak memenuhi Parliamentary threshold. Hal ini tentu menjadi kontradiksi sebab dalam demokrasi kita percaya bahwa suara rakyat, suara tuhan (Vox Populi, Vox Dei) maka sudah seyogyanya seseorang yang sudah terpecaya oleh rakyatnya dapat mewakili rakyatnya di DPR RI. Dengan demikian tidak terjadi lagi suara tertiggi di dapil namun tidak dapat melaju ke senayan dan suara sah menjadi sia-sia.
Parliamentary threshold ini berpotensi membuat senayan hanya membuat DPR RI hanya milik partai-partai besar sehingga partai kecil yang mungkin membawa gerakan politik alternatif seperti misalnya Partai Buruh tidak dapat memiliki wakil di senayan walaupun calegnya terpilih di dapilnya. Kebijakan ini juga sangat mungkin membuat DPR RI hanya milik partai-partai besar sebab memiliki konstituen yang tetap serta ada kemungkinan ada partai yang degradasi dari DPR RI namun tidak ada partai yang mampu untuk promosi masuk ke DPR RI sebab kebijakan parliamentary threshold. Sistem itu hanya akan membuat oligarki partai-partai besar di parlemen.
Hak politik sendiri merupakan Hak Asasi Manusia yang wajib untuk dilindungi dan dijamin oleh negara. Kebijakan parliamentary threshold yang diatur pada Undang-indang Nomor 7 Tahun 2007 hanya membuat suara partai keccil yang tidak masuk kualifikasi parliamentary threshold yang telah ditetapkan. Tentu saja ini bukan tentang partai politik kecil namun tentang suara rakyar yang merasa terwakilkan oleh gagasan yang dibawa oleh partai kecil tersebut. Maka sudah seyogynya parliamentary thereshold harus dihapuskan sebab itu hanya membatasi hak politik rakyat yang merasa dia diwakili aspirasnya melalui keberadaan partai politik kecil yang mempunya keselarasan pandangan ideologis terhadap pereferensi politiknya.
Parliamentary thereshold wajib dihapuskan jika kita ingin mewujudkan demokrasi murni dan mewujudkan bentuk sempurna dari daulat rakyat di DPR RI. Keberhasilan demokrasi tidak diukur dengan persyaratan parliamentary threshold melainkan dari partisipasi Masyarakat. Putusan MK ini juga memberikan kita harapan agar kedepannya perlu untuk didorong agar  Presidential Threshold juga dapat direvisi sehingga politik kita tidak menjadi 'permainan' dari segelintir partai-partai yang menguasai Gedung DPR.
Paliamentary thereshold 4% ini hanya akan membatasi hak politik kita sebagai Masyarakat. Maka dari itu  Putusan yang bakal berlaku di Pemilu 2029 ini perlu kita sambut dengan baik karena memberikan warna baru perpolitikan kita dan tidak ada lagi suara sah yang terbuang. Demokrasi Indonesia yang cenderung masih mud aini sudah seharusnya kita kawal dan rawat Bersama sehingga menjadi lebih matang dari hari ke hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H