Mohon tunggu...
Rama Adiputra
Rama Adiputra Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Esensi Bhinneka Tunggal Ika

13 Februari 2017   20:22 Diperbarui: 15 Februari 2017   21:59 1047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebuah perbedaan, sebuah keberagaman, kaya akan pluralisme semua itu memang sama saja. Sebuah semangat yang sudah lama dihidupi masyarakat Indonesia, bahkan di zaman Hindia Belanda. Beda itu bukan berarti salah, bukan berarti kita harus sama untuk menjadi benar dan satu. Perbedaan sudah selayaknya dijunjung dan dijadikan ujung tombak bangsa Indonesia untuk mengungguli bangsa lain. Sebuah kekayaan yang tidak bisa dengan mudah dimiliki bangsa lain, sebuah kekayaan yang begitu indah apabila kita mampu menjaganya bersama-sama.

2017, yang berarti 72 tahun Indonesia telah merdeka, 89 tahun Indonesia telah bersatu memperjuangkan kebhinekaan yang teramat indah. Indonesia bukan lagi sebuah negara yang baru dilahirkan kemarin, bukan lagi sebuah negara yang baru terbentuk, ataupun baru bersatu. Bukan pula, hanya sebuah negara yang punya satu pulau, satu bahasa, satu agama, satu ras, dan hanya terdiri dari beberapa kebudayan. Belajar dari apa yang telah menjadi masa lalu, bangsa Indonesia seharusnya telah menjadi bangasa yang besar, bangsa uang mandiri, dan bangsa yang menghargai perbedaan, layaknya semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Lantas, bagaimana realita yang ada? Realitanya justru tidak sulit bagi kita melihat berebagai penyelewengan dan kontradiksi akan keberagaman. Bukan lagi sebuah rahasia, bangsa Indonesia masih sering dilanda perpecahan yang disebabkan oleh sebuah perbedaan. Bukan lagi logika dan rasionalitas yang menjadi dasar, justru emosi dan amarah yang lebih ditonjolkan dalam permainannya. Banyak diantaranya pun hanya dikarenakan penyebaran isu oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Di sisi lain, pendidikan juga menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan banyaknya kesalahpahaman dan miskonsepsi akan pluralisme dan perbedaan. Masyarakat menjadi mudah dikendalikan pihak tertentu dan justru bersifat destruktif apabila dilihat dari sisi pembangunan kebhinekaan. Sebuah fakta yang memang sangat pilu apabila dilihat secara lebih mendalam.

Dahulu, kami pun sama, terbentur suatu dinding yang dinamakan perbedaan. Dahulu, pemikiran kami sama kolotnya dengan oknum-oknum yang tidak punya rasa kebhinekaan. Dahulu, kami sama bodohnya dengan kerbau yang akan terus bekerja bila diperintah. Maklumlah, kami bukan seorang profesor yang bersekolah sampai tinggi.

Namun seiring berjalannya waktu, kami beranjak dewasa, menjadi pribadi yang lebih terbuka akan keberagaman. Mungkin, proses selama kami berjuang punya caranya sendiri, punya resep rahasianya sendiri. Sekarang bukan lagi tentang bagaimana saya dan dia, melainkan ini tentang kita, tentang bagaimana Indonesia. Kita bersama-sama menjunjung semangat BHINNEKA TUNGGAL IKA layaknya apa yang didambakan para pendahulu, para pendiri bangsa. Bukan hanya sekedar kata-kata, atau hanya sebuah kemanisan sesaat, melainkan sebuah semboyan yang telah menghidupi bangsa yang besar setidaknya 89 tahun yang lalu. Bukan lagi tentang siapa kita, apa etnis kita, apa agama kita, serta apa ras kita. Ini tentang siapa Indonesia.

Kita Indonesia.

 #kitaindonesia #bersamamerawatperbedaan

RAMA ADIPUTRA

Penulis adalah seorang siswa kelas XI di SMA Kolese Kanisius Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun