Dalam mitologi Yunani adalah salah seorang Titan wanita yang memiliki hubungan dekat dengan Zeus yang bernama Dewi Themis. Kisah tentang Dewi Themis adalah kisah tentang keadilan yang coba dihadirkan manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi yang menganut Natural Law (hukum alam). Sedangkan dalam mitologi Romawi dewi keadilan itu namanya Lady Justice (Justitia).
Dewi Themis ataupun Lady Justita merupakan suatu bentuk pendeskripsian dari sebuah kata yang bernama keadlian, secara filosofis dan telah umum diketahui Dewi Justitia digambarkan dengan timbangan yang menggantung dari tangan kiri, dimana ia mengukur pembelaan dan perlawanan dalam sebuah kasus. Membawa pedang bermata dua yang menyimbolkan kekuatan Pertimbangan dan Keadilan. Mengenakan penutup mata, yang mengindikasikan bahwa keadilan harus diberikan secara objektif tanpa pandang bulu, blind justice & blind equality. Secara ilustrasi, itulah yang dinamakan dengan sebuah keadilan, namun di Indonesia ceritanya menjadi berbeda. Mungkin karena Dewi Justitia yang mengenakan tutup mata, maka dia jadi tidak tahu letak Indonesia itu dimana, sehingga Dewi Justitia tidak sempat menetap bahkan singggah di bumi Indonesia ini.
Tidak percaya?? Anda mau bukti??
Contoh klasiknya adalah seseorang orang yang mencuri sesuatu karena lapar atau untuk bertahan hidup, jika dia tidak mencuri maka dia tidak makan atau tidak dapat membeli makanan sehingga dia akan kelaparan. Dibandingkan dengan Tindak pidana Korupsi yang dikualifisir dari tindak pidana pencurian, penjatuhan hukuman pidana maling ayam dibandingkan dengan penjatuhan hukuman pidana korupsi yang nilainya miliyaran hanya beda-beda tipis, dan bahkan bisa lebih berat hukuman bagi si maling ayam disbanding si koruptor, Bahkan 224 Terdakwa Korupsi Divonis Bebas Sepanjang 2009. Tapi itu baru sedikit contoh, masih banyak contoh nyata bahwa Dewi justitia tidak ada di Indonesia.
Nah selain itu, mengapa kondisi dunia hukum kita tidak berubah? hukum kita sekarang ini tidak lagi berfungsi sebagai law is for justice tetapi hanya berpedoman pada law if for law saja yang artinya bahwa hukum dapat dikompromikan demi kepentingan orang atau kelompok tertentu, akhirnya keadilan sosial bagi masyarakat yang menjadi cita-cita hukum menjadi sia-sia dan bahkan hanya mimpi belaka saja. Dan pola penegakan hukum di Indonesia sekarang ini sungguh sangat liar, menakutkan dan asal-asalan, dari mulai diskriminatif, kriminalisir, asal tangkap, asal hukum, asal bapak senang, asal publik senang, asal naik pangkat, bahkan asal kelihatan hebat.
Hukum tampaknya masih hanya sebuah hiasan yang berbentuk huruf-huruf dan kalimat di dalam sebuah kitab dan Undang-undang saja, bahakan para penegak hukumnya saja masih tidak seiring dan seirama dalam menegakan hukum, masih ada terjadinya GAP dan persaingan yang tidak sehat sesama penegakan hukum, mungkin kita masih ingat isu perseteruan antara KPK vs POLRI tahun 2009, Kejaksaan VS POLRI terkait pembahsaan RUU KUHAP, dan KPK VS Kejaksaan terkait masalah korupsi.
Lalu bagaimana caranya agar Dewi Justitia mau menetap di Indonesia yang masyarakat dan abdi dalemnya masih terbuai angin reformasi dan belum memulai perubahan mendasar terutama dalam pola kerja dan pola pikir? Apa harus sistem, struktur dan, strateginya dibenahi dulu? Atau mungkin integritas penegak hukumnya yang harus dibenahi telebih dahulu? Kedua-duanya adalah harga mati untuk kita benahi dan menata diri bumi Indonesia Demi mengejar Dewi Keadilan yang telah lama hilang dan pergi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H