Tahun lalu saya sempat tidak sengaja mengikuti simulasi penyelamatan terhadap serangan teror yang dilakukan di Bandara Internasional Juanda, Surabaya. Kebetulan waktu itu saya datang kepagian ke bandara, dan terpaksa menunggu di area tempat makannya. Tiba-tiba muncul petugas bandara yang menawarkan untuk ikut simulasi tersebut, dan tanpa pikir panjang saya pun mengiyakannya. Seru sekali, namun lebih dari itu, saya mendapat banyak pelajaran berharga mengenai bagaimana bersikap waspada dan sigap ketika melihat atau mengalami serangan teror (tentunya dengan catatan kita dalam kondisi sadar).
Waktu itu hal pertama yang diajarkan adalah mengenai bagaimana mengenali titik-titik kecurigaan akan terjadi serangan teror. Memang tidak menjamin serratus persen hal tersebut benar, namun setidaknya saya tahu bahwa umumnya pelaku teror memiliki gerak-gerik yang mencurigakan ketika hendak melakukan serangan. Oya, saya lupa mengatakan bahwa gerak-gerik tersebut merupakan hasil pengamatan terhadap gerakan pola kasus serangan teror yang terjadi di Indonesia. Katanya sih, sekalipun pelaku teror terlihat percaya diri, namun gerak-gerik ketika hendak melakukan teror selalu saja membuat mereka gugup. Ciri-cirinya seperti bolak-balik melintas suatu titik seraya mengamati kondisi sekitar, ya bisa jadi seperti gerak-gerik penjahat di film-film.
Pengamatan gerak-gerik tersebut sebenarnya lebih berfokus untuk disampaikan kepada para petugas keamanan. Diharapkan tugas pengamanan dapat dilakukan dengan baik oleh aparat-aparat terkait, seperti satpam, polisi jaga, dan pihak-pihak seprofesi lainnya. Selain pelatihan peningkatan kewaspadaan, pelaksana simulasi tersebut juga mengarahkan para petugas keamanan untuk menguasai trik-trik sederhana untuk melumpuhkan terduga pelaku teror yang ketahuan hendak melakukan aksi teror. Lebih dari itu, pertugas keamanan juga diberikan pengarahan mengenai tindakan penanggulangan dini pasca penemuan dugaan dan pasca serangan teror, di mana dititik beratkan pada proses pengamanan yang efektif dengan minimal risiko pani dan ricuh.
Sementara itu untuk masyarakat awam, simulasi tersebut lebih banyak difokuskan upaya untuk meredam diri agar tidak panik ketika selamat namun terjebak pada kondisi pasca atau sedang dalam serangan teror. Seperti salah satu contoh ketika misalkan berada di dalam kondisi penyergapan, kita diminta untuk tetap berada di tempat, dan upayakan untuk tenang. Kalau menemukan titik persembunyian terdekat, segeralah pindah secara perlahan. Selain itu, ketika dievakuasi oleh pihak keamanan, usahakan untuk tetap tenang dan mengikuti instruksi yang diberikan. Jangan sampai kekalutan dan kepanikan menguasai kita karena sedikit saja kita lepas dari pantauan tim penyelamat, ada kemungkinan risiko buruk lain dapat terjadi.
Walaupun tidak dapat memberi gambaran jelas seperti apa kondisi ketika terjadi serangan teror, namun simulasi tersebut patut diapresiasi karena membuat kita sadar bahwa ancaman bahaya terorisme ada di mana-mana. Selain itu, simulasi tersebut juga bermanfaat untuk memberikan pemahaman kepada khalayak luas bahwa petugas keamanan telah memiliki prosedur khusus dan profesional dalam mengevakuasi korban serangan teror, sehingga diharapkan kita tidak panic agar tidak terjadi hal-hal buruk lainnya di luar perkiraan.
Tampaknya simulasi seperti ini perlu digalakkan dan dilakukan di banyak tempat agar masyarakat dapat lebih waspada dan sigap dalam menghadapi ancaman bahaya terorisme. Selain itu, simulasi seperti ini juga sebaiknya dibarengi dengan sosialisasi mengenai bahaya terorisme dan upaya penanggulangan dini yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Saya melihat bahwa antusiasme yang ditujukan oleh peserta simulasi (termasuk saya) pada waktu itu sungguh tinggi dan kami pun merasa mendapatkan manfaat baru dalam kesiagaan menghadapi ancaman terorisme. Salam damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H