Mohon tunggu...
Rahel
Rahel Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Hidup itu keras, kalo mau lembek dipresto aja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Laut dan Petaka yang Dibawa Olehnya

3 Februari 2023   10:46 Diperbarui: 3 Februari 2023   11:04 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seorang anak laki-laki sedang berjalan pelan menuju suatu kamar yang merupakan kamar kakak perempuannya, ia mengetuk pelan pintu yang terbuat dari kayu tersebut. "Kak, ada paket di luar." Perempuan di dalam kamar tersebut menoleh ke arah pintu kamarnya yang terketuk, "Iya, sebentar." Jawabnya. Perempuan itu tutun dari kasur, dan berjalan menuju pintu kamarnya. Ia membuka pintu, dan mendapati adik laki-lakinya yang bertinggi badan lebih pendek sekitar 8 cm daripada tinggi badannya. "Ada paket." Ucap adiknya. "Oke, makasih." Jawabnya diselingi senyuman, adiknya pun membalas dengan senyuman tipis.

Ia telah sampai di halaman rumah, dan mendapati lelaki muda yang membawa sebuah kotak yang cukup besar, dengan lapisan Bubble Wrap hitam di luarnya. Ia menghampiri lelaki tersebut dan bertanya, "Atas nama Helera bukan, bang?" Lelaki yang membawa kotak tersebut menoleh, "Iya, benar, kak." Jawabnya sambil tersenyum ramah." Gadis itu, Helera, membayar pesanan tersebut, dan membawa kotak tersebut ke ruang tamu di rumahnya.

Ia membuka lapisan-lapisan dari kotak tersebut, dan mengeluarkan apa yang ada di dalamnya. "Kamu beli apa, nak?" Suara lembut menginterupsi Helera yang sedang membenahi sampah dari lapisan kotak tersebut, ia pun menoleh dan mendapati Bundanya yang sedang tersenyum kearahnya. "Oh, lukisan laut, bun. Aku udah kepingin ini dari lama, soalnya mahal, hehe." Jawab Helera sambil cengengesan. "Oalah, yang itu? Bagus, ya." "Iyaa, malah karena lukisan ini, aku jadi pingin tinggal di laut." Ucap Helera sambil menatap lukisan yang baru saja dibeli olehnya. "Jangan dong, nak. Laut itu gak selalu indah seperti yang kamu kira. Kadang, ketika laut sedang tak bersahabat, laut bisa saja malah membawa petaka. Laut, tidak selalu indah, tenang, dan damai, Kejora." Ucapan dari sang bunda, membuat Helera semakin menatap dalam lukisan tersebut. "Bunda tinggal dulu, ya."

Malam telah tiba, Helera yang sedang bersiap-siap untuk beristirahat, tiba-tiba terdiam memikirkan ucapan sang bunda siang tadi. Ia sedikit tidak percaya bahwa laut bisa membawa petaka seperti yang bunda ucapkan tadi siang, bahkan ia berpikir bahwa ia akan percaya, jika ia melihat secara langsung, laut yang terletak tak jauh dari rumahnya, membawa petaka seperti apa yang bunda ucapkan. Karna lelah, ia pun tanpa sengaja tertidur. Tanpa siapapun sadari, laut tersebut sedang mempersiapkan diri untuk mengamuk, dan membawa semua yang akan ia lewati.

Secara tiba-tiba, Helera terbangun karna mimpi buruk yang dialami olehnya. Tapi, perasaannya justru tidak enak, yang membuat dirinya tak bisa kembali tidur. Ia pun beranjak dari kasurnya, dan membuka tirai jendela kamarnya yang menghadap kearah laut. Dengan samar-samar, ia melihat gelombang besar sedang menuju ke tempat di mana ia berada. Karna kurang jelas, ia menyipitkan matanya sambil bergumam, "Itu apaan, sih?" Gelombang besar itu semakin jelas, dan semakin mendekat kearahnya. Setelah menyadari adanya gelombang tersebut, ia membelakakkan matanya dan terdiam. Tubuh dan matanya terpaku, rasanya berat untuk menggerakkan tubuhnya. Nafasnya tertahan, dan gelombang itu telah sampai. Membawa Helera, bersama apapun yang ada di sekitarnya.

Helera terbangun, di tempat yang tak ia kenali. Ia dapat melihat di sekelilingnya terdapat manusia-manusia tak bernyawa. Di sekujur tubuhnya terdapat luka-luka terbuka maupun tidak, sakit yang ia rasakan. Ia menyesal tak mempercayai ucapan bunda, tapi semuanya sudah menjadi takdir yang harus ia terima. Saat ini, ia pun sadar bahwa laut tak selamanya menjadi tenang, tak selamanya menjadi damai. Laut yang terlihat aman itu, juga dapat membawa petaka.

Ditulis oleh Rahil Mufidah Ma'mun.

Santri Al-Nahdlah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun