Kembali ke penggalan-penggalan kisah pewayangan, sebelum era Kumbokarno dan Togog dikisah Ramayana, ada cerita-cerita dari era sebelumnya yang tidak kalah menarik. Salah satunya adalah cerita tentang dua bersaudara yaitu Bambang Sumantri dan Bambang Sukrosono.
Bambang Sukrosono adalah sosok pemuda yang buruk rupa, adik dari Bambang Sumantri si pemuda tampan. Kakak beradik tersebut adalah wayang yang hidup di era purwo, lebih tua dari Prabu Romo dan Dosomuko dari era Ramayana maupun Pendowo dan Kurowo dari era Mahabharata. Keduanya (menurut cerita) adalah putra dari Resi Suwandagni, namun sejak kecil diasuh oleh kakeknya yaitu Resi Wisanggeni di padepokan terpencil bernama Ardisekar. Meskipun berbeda physical performance, kedua kakak beradik ini pada dasarnya amat menyayangi satu sama lain, serta memiliki perilaku yang santun dan budi pekerti yang luhur. Baik Sumantri maupun Sukrosnono banyak memperoleh ajaran dan ilmu dari Resi Wisanggeni, sehingga mereka tumbuh menjadi dua wayang kecil yang tangguh dan sakti.
Namun, selain penampilan fisik ada karakter yang juga membedakan diantara keduanya. Sumantri adalah sewayang pemuda ambisius, ingin berprestasi dan termotivasi untuk menjadi yang terbaik serta menggapai kesuskesan tertinggi. Ciri-ciri sifat seorang anak mbarep. Di sisi lain, ternyata Sumantri memiliki satu kekurangan, yaitu terlalu jaga image, khususnya bila berinteraksi dengan orang-orang berpangkat. Semua itu disebabkan oleh ambisinya demi menggapai cita-cita tertinggi. Sumantri malu memperkenalkan adiknya, Sukrosono yang ber-fisik jelek, walaupun dalam berbagai situasi yang sulit, Sukrosono banyak membantu kakaknya untuk meraih mimpi-mimpi, dan itu dilakukannya dengan berani, tulus dan ikhlas tanpa mengharapkan balas budi.
Bila Sumantri adalah pemuda yang ambisius, maka Sukrosono merupakan wayang yang sederhana, nrimo. “Dah….saya mah gitu orangnya…..,” kata Sukrosono. Dia hanya ingin hidup rukun dan damai dengan semua makhluk ciptaan Tuhan. Sukrosono sangat menyadari bahwa dirinya bukanlah sosok wayang yang pantas untuk mendapatkan tempat yang layak di jamannya. “Saya mah apa atuh….,” lanjut Sokrosono.
Yah….betigulah nasib si anak nomer sekian, minoritas, harus nrimo dan legowo atas nasib kodratnya. Dia juga sangat paham bahwa dirinya tidak boleh mengharapkan berbagai privilege sebagaimana kakak sulungnya si Sumantri. Meskipun demikian, Sukrosono justru sering mendapatkan berbagai kemudahan berkat kemampuannya yang baik dalam berinteraksi dan bergaul dengan semua mahluk ciptaan Tuhan tanpa melihat status sosial.
Singkat cerita dalam kisah wayang, ketika masih sama-sama muda (kira-kira pangkat Letda sampe Kapten lah…) Sumantri dan Sukrosono masih saling menyayangi dan melindungi. Namun, ketika dhalang sudah setengah jalan melakonkan cerita kakak beradik itu, ternyata ambisi sang sulung mampu mengalahkan rasa persaudaraannya. Keinginan Sumantri untuk memperoleh pangkat dan jabatan puncak akhirnya mengorbankan adiknya si Sukrosono. Sumantri yang merasa menjadi yang paling apa kali….. akhirnya meninggalkan padepokan tanpa ngasih tahu adiknya, hingga adik yang sangat menyayanginya bersedih dan menyusuri hutan belantara untuk menyusul dan mencari sang kakak.
Meskipun gemblengan penderitaan selama perjalanan pencarian itu akhirnya justru membuat Sukrosono menjadi lebih tangguh dan sakti, namun bagian cerita ini tetaplah menunjukkan sebuah ‘pengkhianatan’ yang dilakukan oleh sang kakak kepada adiknya. Pengkhianatan Sumantri kepada adiknya juga terulang kembali ketika ambisinya akan pangkat dan jabatan telah tercapai. Bahkan pada akhirnya, ambisi yang berlebihan juga membawanya pada pengkhianatan kepada raja yang telah memberinya pangkat dan jabatan tinggi di kerajaan Maespati yaitu Arjuno Sosrobahu (bukan Arjuno nya Pendowo)
(cerita lengkapnya silakan cari sendiri….)
Demikianlah sepenggal cuplikan cerita wayang yang entah benar-benar terjadi atau tidak. Yang pasti, cerita-cerita yang terdapat dalam dunia pewayangan selalu mengandung nilai-nilai luhur tentang kehidupan yang ingin disampaikan oleh penciptanya. Selalu terdapat relevansi nilai-nilai calam cerita pewayangan tersebut bila dikaitkan dengan kehidupan nyata yang dialami oleh manusia sepanjang jaman.
Sebuah entitas yang heterogen biasanya memiliki kelompok mayoritas dan minoritas di dalamnya. Sebuah keluarga biasanya juga memiliki anak sulung dan anak bungsu yang wataknya berbeda, walaupun perbedaan itu ada yang kecil dan ada yang besar. Realitas yang seringkali harus diterima adalah bahwa seorang anak sulung atau kelompok mayoritas yang dianggap memiliki berbagai kelebihan fisik biasanya mendapatkan privilege yang lebih banyak dibanding kelompok minoritas atau anak bungsu, sebagaimana yang terjadi pada Sumantri dan Sukrosono.