Mohon tunggu...
Djoko Nawolo
Djoko Nawolo Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pemerhati sosial

Sekedar menyalurkan hobi berceloteh tentang segala hal

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Reformasi TNI, Sudah Tuntaskah?

21 November 2015   06:58 Diperbarui: 21 November 2015   08:30 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Institut Peradaban, sebuah lembaga nirlaba yang dikelola oleh pakar militer Prof. Dr. Salim Said dan didukung oleh yayasan Kelirumologi pimpinan Jaya Suprana menyelenggarakan diskusi rutin yang membahas berbagai persoalan aktual bangsa. Pada bulan Nopember 2015, Institut Peradaban menyelenggarakan seminar di Wisma Elang Laut, Menteng dengan mengambil topik bahasan Reformasi TNI. Nama besar Prof. Dr. Salim Said selaku orang Indonesia pertama yang meraih gelar Doktor dibidang militer Indonesia di Amerika Serikat dengan puluhan buku yang telah ditulisnya menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat, khususnya kalangan akademisi, untuk mengikuti seminar ini.

Tiga orang pembicara (narasumber) yang ditunjuk pun menjanjikan sajian seminar yang berkualitas. Letjen TNI (Pur) Suryo Prabowo sebagai pembicara dari ‘TNI’ dikenal semasa dinas aktifnya sebagai perwira cerdas dengan pemikiran-pemikiran kritis, rasional dan logis. Pembicara lainnya yaitu Dr. Conie Rahakundini sebagai pengamat militer juga telah dikenal luas sebagai pengamat yang telah banyak memberikan kontribusi pemikiran bagi pembangunan dan pengembangan TNI, sedangkan Al Araf, aktifis sekaligus direktur LSM Imparsial , sebagai pembicara ketiga dikenal sangat kritis terhadap TNI atau militer di Indonesia.

Dengan dimoderatori oleh Dr. Alfan Alfian, satu-satunya orang Indonesia yang meneliti Angkatan Bersenjata Turki serta penanggap utama Letjen TNI Kiki Syahnakri, yang turut membidani proses awal reformasi TNI maupun Mahfudz Siddiq, Ketua Komisi I DPR RI yang membidangi Pertahanan, maka diskusi tentang reformasi TNI ini akan sangat menarik. Di tengah-tengah undangan juga terlihat hadir beberapa tokoh besar seperti Prof. Dr. Emil Salim dan Letjen TNI (Pur) Agus Widjojo yang juga telah banyak menulis buku serta pemikiran-pemikiran kritis tentang TNI.

Menurut Prof. Dr. Salim Said, Reformasi TNI dipilih untuk menjadi topik pada diskusi kali ini karena TNI saat ini dianggap sebagai institusi yang paling konsisten melakukan reformasi dan menunjukkan kemajuan yang sangat signifikan dibanding institusi lainnya. Tak heran jika TNI saat ini menjadi institusi yang paling dipercaya oleh publik. Namun demikian, tetap diperlukan sebuah pengkajian untuk melihat sejauh mana sesungguhnya reformasi TNI tersebut telah dijalankan dan apa hasilnya. Hal ini dikarenakan masih banyak pihak yang mempersoalkan posisi TNI yang masih belum berada di bawah Kementerian Pertahanan serta Peradilan Militer yang masih berdiri sendiri, terlepas dari Peradilan Umum. Hal tersebut membawa kepada pertanyaan mendasar, apa hambatan-hambatan yang dihadapi oleh TNI dan juga pemerintah (otoritas sipil) yang terkesan memperlambat tercapainya reformasi total dalam TNI. Lebih jauh bisa dipertanyakan, apakah hambatan reformasi bersumber dari dalam TNI sendiri atau malah ada di kalangan otoritas sipil.

Menurut Letjen TNI (Pur) Suryo Prabowo yang menjadi pembicara pertama, Reformasi TNI sebenarnya sudah tuntas, sebagaimana yang pernah beberapa kali disampaikan oleh Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dalam berbagai kesempatan. Oleh karenanya, menjadi pertanyaan besar ketika saat ini masih ada pihak-pihak yang mempersoalkan kelanjutan reformasi TNI atau menganggap reformasi TNI tidak berjalan dengan baik. Suryo Prabowo mengatakan bahwa dirinya tentu saja lebih mempercayai SBY yang merupakan Presiden RI mantan TNI dan sekaligus menjadi salah satu inisiator proses reformasi TNI, sehingga tahu persis perjalanannya. Menurut Suryo Prabowo, 19 agenda yang telah ditetapkan pada awal proses reformasi, seluruhnya telah terlaksana dengan tuntas, sehingga justru saat ini bisa dikatakan bahwa reformasi TNI telah kebablasan. Ketidaksiapan institusional maupun kultural dari otoritas sipil untuk menghadapi reformasi TNI pada saat ini justru membuat reformasi TNI menjadi membias ke seala arah. Oleh karenanya, yang saat ini perlu dipersoalkan dan dilakukan adalah reformasi sipil sehingga tidak menyeret TNI ke dalam ruang-ruang yang justru akan mengingkari semangat reformasi.

Terkait dengan peradilan militer sebagaimana yang masih sering digugat oleh berbagai pihak, Suryo Prabowo berargumen bahwa di negara-negara besarpun peradilan militer tetap diperlukan, bahkan bisnis militer pun masih tetap dilakukan. Dengan demikian, justru perlu dipertanyakan sistem mana yang digunakan sebagai acuan apabila semua hal tersebut tetap saja dipersoalkan oleh pihak-pihak tertentu. Sebagai seorang mantan perwira tinggi TNI, Suryo Prabowo sangat menyayangkan trend pejabat sipil yang saat ini cenderung ingin berperilaku dan tampil seperti militer. Bahkan beberapa pejabat daerah memanfaatkan prajurit TNI untuk menjadi staf nya, dan memberikan dukungan finansial dari anggaran daerah. Menurut Suryo Prabowo, contoh seperti ini merupakan indikator bahwa reformasi TNI justru menjadi kebablasan. Undang-undang telah mengatur bahwa TNI dibiayai oleh APBN, sehingga apabila ada pimpinan daerah yang 'memberdayakan' TNI dengan mengeluarkan APBD untuk membiayainya, maka hal itu bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran undang-undang.

Dr. Conie Rahakundini yang menjadi narasumber kedua menyampaikan pandangan yang pada dasarnya sepakat dengan Suryo Prabowo terkait argumen bahwa reformasi TNI sebenarnya telah tuntas sesuai prsogram yang ditetapkan. Justru saat ini diperlukan reformasi sektor sipil untuk menjadikan TNI benar-benar profesional sesuai harapan rakyat Indonesia agar TNI benar-benar mampu menjadi alat pertahanan negara yang hebat. Conie yang juga banyak terlibat dalam perumusan berbagai kebijakan pemerintah dibidang pertahanan menganggap bahwa pembentukan National Security Council (Dewan Keamanan Nasional) merupakan sebuah keniscayaan yang harus dilakukan pemerintah sebagai upaya nyata secara kelembagaan untuk menyiapkan berbagai regulasi dibidang pertahanan dan keamanan yang selama ini sering terhambat di DPR RI, karena masih kuatnya ego dan kepentingan sektoral pihak-pihak yang berkepentingan dibidang ini. Hal ini juga diperlukan karena menurut Conie, saat ini terjadi tumpang tindih kewenangan disektor keamanan ini, dengan mengambil contoh ruang kewenangan Bakamla yang saat ini terkesan jauh melampaui ruang kewenangan TNI AL untuk menjaga keamanan laut nusantara. Conie juga menyayangkan kecenderungan institusi sipil yang banyak menarik TNI untuk terlibat dalam urusan-urusan dibidangnya masing-masing.

Menurut Conie, seringkali masyarakat, termasuk TNI sendiri, salah menggunakan kalimat seperti 'TNI mereformasi dirinya'. Seharusnya reformasi TNI tidaklah diinisiasi dan diprogramkan oleh TNI sendiri, tetapi harus diprogramkan oleh pemerintah yang notabene adalah otoritas sipil, karena TNI adalah alat negara, tunduk pada otoritas sipil.

Sebagai seorang pakar dibidang militer atau pertahanan, Conie menyodorkan beberapa gagasan tentang bagaimana merumuskan dan membangun strategi pertahanan negara dalam rangka mendukung cita-cita pemerintah untuk mewujudkan negara Indonesia sebagai poros maritim dunia. Pembangunan kekuatan TNI AL mutlak diperlukan tanpa mengecilkan arti pembangunan kekuatan TNI AU, karena keamanan laut dalam mewujudkan poros maritim dunia juga harus didukung dengan penguasaan ruang udara yang baik.

Conie juga menganggap bahwa dihadapkan pada pembangunan militer USA dan Tiongkok yang semakin besar, khususnya dalam rangka menguasai perairan dunia, maka TNI AL juga sudah saatnya dibangun menjadi 'blue water navy' yang mampu beroperasi hingga wilayah perairan yang jauh lebih luas. Disamping itu untuk mengamankan wilayah NKRI, khususnya di perairan, TNI AL tidak lagi harus berdiri sendiri, namun perlu melakukan kegiatan bersama di wilayah-wilayah perairan yang saling berbatasan dengan negara lain maupun perairan internasional.

Pada bagian akhir, Al Araf dari Imparsial menyampaikan pandangan yang 'cukup lunak' terkait reformasi TNI ini. Imparsial yang biasanya selalu membuat pernyataan-pernyataan apriori terhadap TNI, kali ini menganggap bahwa reformasi TNI sudah mencapai 80% dari target yang diharapkan. Menurutnya, masih ada beberapa isu krusial yang belum sepenuhnya terwujud seperti peradilan militer yang juga masih belum dihapus dan dijadikan peradilan umum, serta tingkat profesionalitas TNI yang dianggapnya masih belum maksimal. Namun menurut Al Araf, hal itu lebih banyak disebabkan oleh ketidak pahaman dan ketidak siapan otoritas sipil untuk menjadikan TNI lebih profesional, walaupun memang ada beberapa sistem di dalam TNI sendiri yang juga masih perlu dibenahi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun