Mohon tunggu...
Djoko Nawolo
Djoko Nawolo Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pemerhati sosial

Sekedar menyalurkan hobi berceloteh tentang segala hal

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menggugat Tentara ke Sawah?

16 Juni 2017   09:20 Diperbarui: 17 Juni 2017   05:47 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Cukup mengherankan..., saat produktivitas hasil pertanian kita meningkat secara signifikan, dan mampu mengurangi ketergantungan pemenuhan kebutuhan pangan dari komoditas impor, sebagai hasil kerjasama Kementan dengan tentara,  justru muncul opini negatif di media yang 'menggugat' upaya negara untuk menyejahterakan rakyatnya tersebut. Argumen administratif/regulatif yang dikemukakan oleh Ahmad Alamsyah Saragih, anggota Ombudsman RI untuk mempermasalahkan keterlibatan TNI dalam bidang pertanian dalam koran tempo (13/7), terkesan terlalu dipaksakan dan sarat dengan kepentingan pihak tertentu yang tidak senang terhadap kepercayaan tinggi yang disematkan oleh publik kepada TNI.

Ombudsman yang seharusnya mengemban tupoksi menampung keluhan publik dan mencarikan solusi untuk mengatasinya, justru terkesan resisten terhadap upaya pemerintah dalam mengatasi krisis pangan yang telah menjadi persoalan bangsa beberapa tahun terakhir. Tidak berlebihan jika akhirnya muncul dugaan bahwa "penggugat" itu adalah bagian dari mafia beras yang pada akhir tahun 2016 yang lalu diobrak-abrik oleh pemerintah. Atau mungkin si penggugat telah dibayar oleh para pengimpor beras yang kehilangan keuntungannya setelah negara ini mampu berswasembada dan tidak lagi mengimpor dari negara lain. Masuk akal kan....?

Kelihatannya, anggota ombudsman itu memanfaatkan celah yang terdapat dalam pasal 5 UU RI no 34 tahun 2004 tentang TNI, yang menyebutkan bahwa TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan, yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkankebijakan dan keputusan politik negara.Memang, tidak terdapat penjelasan yang cukup dalam undang-undang tersebut tentang batasan "menjalankan tugas yang harus didasarkan kebijakan dan keputusan politik negara" tersebut, sehingga masyarakat tidak memiliki pemahaman yang sama terhadap maknanya. Apakah yang dimaksud oleh pasal 5 tersebut hanyalah pengerahan TNI dengan kekuatan bersenjatanya untuk melaksanakan tugas, ataukah seluruh tugas apapun yang dilakukan oleh TNI harus didasari oleh keputusan politik negara?.

Tetapi perlu diingat bahwa pasal 5 itu tidak berdiri sendiri. UU RI No 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyebutkan dalam pasal 1 bahwa Sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. UU RI no 34 Tahun 2004 tentang TNI, mengamanatkan pada pasal 7 bahwa salah satu tugas TNI dalam rangka OMSP adalah memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta.

Dalam tugas-tugas penanggulangan bencana yang juga diatur dalam pasal yang sama dengan pemberdayaan wilayah, pengerahan prajurit TNI tidak pernah "digugat" atau dipermasalahkan. Demikian juga ketika TNI AD digandeng oleh Kementerian PU untuk membuka jalan di sepanjang perbatasan dan wilayah-wilayah terpencil di Papua, tidak ada pihak yang mempersoalkan legalitas yuridis pekerjaan yang dilakukan oleh prajurit-prajurit tersebut. Lantas, kenapa kemudian tiba-tiba keterlibatan TNI dalam bidang pertanian untuk membantu mewujudkan swasembada pangan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketergantungan impor komoditas kebutuhan primer rakyat itu "digugat"?.

Apakah karena tidak ada yang "membiayai" jika menggugat keterlibatan tentara dalam penanggulangan bencana dan pembangunan daerah perbatasan, sedangkan jika ada yang diuntungkan oleh "gugatan" terhadap bidang pertanian ini mereka akan "kecipratan"? Hal itu tentu saja patut dipertanyakan....

Bagi tentara kita, aturan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tersebut tentu saja telah dijabarkan secara operasional melalui doktrin-doktrin yang memayunginya. Contohnya Angkatan Darat yang wilayah operasionalnya di daratan dan bersinggungan langsung dengan kehidupan sosial kemasyarakatan, telah menempatkan pembinaan teritorial sebagai salah satu fungsi utama, dengan implementasi sehari-harinya berupa kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan untuk membantu mengatasi berbagai persoalan masyarakat.      

Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian, Gatot Irianto pernah menulis sebuah artikel di Harian Kompas tanggal 10 Maret 2016, dan berargumen bahwa negara harus hadir didepan melindungi kedaulatan pangannya, sebagaimana yang juga dilakukan oleh negara-negar maju seperti Amerika, Uni Eropa dan Jepang yang memproteksi produksi, pasar pangan, beserta petaninya dari serbuan impor. Dalam hal ini, negara tentu saja dapat memanfaatkan berbagai sumber daya yang dimilikinya untuk kepentingan rakyat.

Ketahanan pangan telah ditetapkan sebagai salah satu prioritas program yang ingin segera dicapai dalam Nawa Cita pemerintahan Presiden RI Joko Widodo. Pembangunan Ketahanan pangan ini juga merupakan amanat dari Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang pangan, mengamanatkan bahwa pemerintah bersama masyarakat berupaya mewujudkan ketahanan pangan bagi seluruh rakyat Indonesia. Presiden RI selaku pimpinan politik juga telah memberikan instruksi kepada TNI AD selaku alat negara untuk ikut mendukung program ketahanan pangan demi kesejahteraan rakyat, pada saat kegiatan di Pangkalanbun akhir tahun 2014. Perintah Presiden ini semestinya sudah cukup dianggap sebagai sebuah keputusan politik negara yang dapat dijadikan landasan. (jika memang itu yang diharapkan)

Semestinya kita menyadari bahwa dalam permasalahan krisis pangan yang kompleks dan dikendalikan oleh para mafia atau penjahat beras ini, petani sebagai pelaku utama mewujudkan ketahanan pangan nasional akan menemui kesulitan apabila harus melakukannya tanpa dukungan pihak-pihak lain. Semua stakeholder yang terkait dan memiliki komitmen kebangsaan perlu melibatkan diri untuk bersama-sama mendukung pencapaian program ketahanan pangan tersebut.

Ketika tentara turun tangan untuk membantu dan telah terbukti memberikan hasil yang baik, maka semestinya upaya itu kita apresiasi dan kita dukung, bukannya malah dipersulit dengan alasan-alasan administratif yang tidak masuk akal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun