Diskusi tentang perlu atau tidaknya pelibatan TNI dalam penanganan terorisme di Indonesia sudah cukup lama terjadi, seiring dengan semakin dinamisnya ancaman teror di negeri ini, disatu sisi, dan pemisahan institusional antara TNI dan Polri pasca reformasi disisi yang lain.Â
Kuatnya arus pemahaman dikotomis antara fungsi keamanan dan pertahanan yang mengiringi pemisahan tersebut telah menempatkan TNI pada posisi dilematis dalam konteks penanganan terorisme yang sejatinya merupakan salah satu ancaman terhadap kedaulatan negara tersebut.Â
Walaupun UU Nomor 34 tahun 2004 telah memberikan mandat kepada TNI untuk menangani terorisme sebagai salah satu tugas OMSP, namun resistensi yang muncul secara politis dan yuridis sangatlah kuat, apalagi UU tentang terorisme secara eksplisit mengatakan bahwa terorisme adalah sebuah bentuk ‘tindak pidana’ yang secara otomatis menjadi domain dari Polri untuk menanganinya. Dengan demikian, TNI hanyalah bisa dilibatkan sebatas dalam rangka tugas perbantuan kepada Polri.
Realitas tidak menurunnya kualitas maupun kuantitas ancaman terorisme yang terjadi pada kurun waktu beberapa tahun terakhir, dan anggapan kurang efektifnya langkah-langkah yang dilakukan Polri dengan Densus 88 untuk menangani terorisme dalam situasi-situasi khusus, telah menggiring persepsi banyak pihak untuk melakukan revisi terhadap UU terorisme, dengan semangat memasukkan kembali TNI untuk secara lebih aktif melakukan penanganan terhadap ancaman teror.Â
Kabar tertembaknya salah satu gembong teror, Santoso, oleh prajurit Raider 515/Kostrad setelah bertahun-tahun gagal dilakukan Satgas yang dibentuk oleh Polri, seolah-olah menambah amunisi baru yang mendorong akselerasi revisi UU tentang terorisme dengan memasukkan TNI sebagai salah satu pemeran utama penanganan terorisme.
Oleh karenanya, penting rasanya kita melihat sekilas tentang akar terorisme di Indonrsia untuk menuju kepada pemahaman tentang bagaimana seharusnya memberdayakan TNI dalam penanganan terorisme ini.
Akar Permasalahan Terorisme.
Terorisme sebagai sebuah sifat pada hakekatnya adalah segala sesuatu yang memunculkan ketakutan (teror) pada manusia, dan telah eksis dalam kehidupan manusia sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Dalam perkembangannya, banyak definisi terorisme yang dikembangkan oleh para ahli dari berbagai negara.Â
Dalam hal ini, TNI mendefinisikan terorisme sebagai sebuah ancaman dalam bentuk aksi teror yang dilakukan oleh kelompok radikal dan fundamentalis secara nasional maupun internasional, termasuk kelompok-kelompok oportunis dengan cara pengeboman, penculikan, penyanderaan, pembajakan dan pembunuhan, sebagaimana yang tercantum dalam Doktrin TNI Tri Dharma Eka Karma.
Ketidakstabilan dunia yang ditandai dengan adanya krisis ekonomi, krisis pangan, krisis energi yang berdampak pada berbagai aspek kehidupan negara-negara dunia, khususnya negara miskin dan berkembang telah menimbulkan frustasi sekelompok masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak ekonomi, sosial dan politik sebagai bentuk hak asasi yang fundamental.Â
Kemudian adanya keinginan untuk melanggengkan kekuasaan, baik di lingkup lokal, nasional, regional maupun internasional membuktikan bahwa kondisi tersebut sangat berpotensi sebagai pemicu meluasnya aksi riil terorisme sebagaimana akar permasalahan terorisme sehingga potensi dan tindakan riil terorisme masih tetap dilatarbelakangi oleh gerakan fundamentalis radikal yang didasarkan pada ekstrimisme agama, gerakan separatis, kepentingan kelompok tertentu dan gerakan komunisme.Â