Serangan teror di dua tempat di London beberapa hari yang lalu semakin memperlihatkan bahwa ancaman terorisme tidak pernah berhenti. Sebelumnya bom mobil juga meluluh lantakkan kawasan diplomatik di Kabul-Afghanistan dan menewaskan puluhan orang serta ratusan lainnya luka-luka. Di Indonesia, menjelang datangnya Ramadhan kemaren, kita kembali dikejutkan dengan peristiwa teror. Kali ini terjadi bom bunuh diri di terminal Kampung Melayu Jakarta Timur yang menyebabkan gugurnya 3 orang petugas kepolisian dan menewaskan 2 orang pelakunya. Teror bom itu juga menjadi rangkaian dari teror bom di Manchester Inggris yang menewaskan lebih dari 20 orang, serta serangan kelompok teroris di Marawi Filipina sehari sebelumnya.
Entah merupakan sebuah kebetulan atau memang merupakan serangan teror yang berangkai secara terencana, tetapi dapat diprediksikan bahwa serangan-serangan teror yang menyebabkan timbulnya banyak korban jiwa itu terjadi setelah kekuatan kelompok teror ISIS di Timur Tengah semakin melemah akibat gempuran pasukan koalisi, dan mulai kembali ke negara masing-masing menjadi return fighters. Indonesia sendiri menghadapi ancaman kembalinya lebih dari 500 orang return fighters yang pernah bergabung dengan ISIS di Suriah, dan sekarang tersebar di berbagai wilayah.
Ya, teror yang merupakan kejahatan luar biasa bagi kemanusiaan (extraordinary crime) terus terjadi dan merenggut banyak korban jiwa. Sementara itu, Indonesia yang memiliki potensi besar bagi tumbuh kembangnya dan dilancarkannya aksi terorisme masih terus memperdebatkan rencana revisi UU Terorisme yang menjadi landasan hukum dalam bertindak menghadapi ancaman tersebut. Persoalan utama yang diperdebatkan adalah tentang pelibatan TNI secara langsung dan proaktif dalam penanganan terorisme di Indonesia. Pihak yang telah terlanjur "nyaman" dengan sistem hukum pidana yang digunakan selama ini dalam menghadapi terorisme, sepertinya tidak mau terusik kenyamanannya, sehingga resistensi terus diberikan untuk menolak pelibatan TNI dalam menangani terorisme di Indonesia, walaupun dalam operasi Tinombala efektifitas pelibatan TNI sangat berpengaruh pada keberhasilan tugas.
Terus terjadinya aksi teror diberbagai belahan dunia, sepertinya telah memberikan pengaruh perubahan terhadap cara berpikir pihak-pihak yang berkepentingan dengan revisi UU Terorisme tersebut. Penolakan terhadap wacana pemberian wewenang yang besar kepada TNI dalam penanganan terorisme yang sempat mengemuka sebelumnya, cenderung menjadi semakin melunak. Presiden Jokowi, Menkopolhukam dan beberapa fraksi di DPR RI telah memberikan sinyal lampu hijau untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada TNI. Kapolri sendiri yang sebelumnya terlihat enggan "berbagi" kewenangan dengan TNI, akhirnya mengatakan bahwa penanganan terorisme tidak bisa dilakukan secara berdiri sendiri oleh Polri, melainkan harus dilakukan secara komprehensif dan lintas sektoral.
Namun, sepertinya lampu belum benar-benar berwarna hijau bagi TNI, karena masih ada pihak-pihak yang berusaha untuk tetap menolak, seperti Hendardi dari Setara Institute yang berargumen bahwa keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme di Indonesia justru berpotensi memperkeruh situasi dan melanggar HAM. Sepertinya Hendardi lupa atau sengaja tidak mau mengingat bahwa kelompok Santoso di Poso dapat ditumpas setelah pasukan TNI secara intensif terlibat dalam penanganannya dibawah operasi Tinombala, dan yang lebih banyak berhasil melakukan penindakan adalah prajurit-prajurit TNI tanpa mengakibatkan 'keruh'nya suasana penanganan teror kelompok Santoso.
Senada dengan Hendardi, anggota DPR RI Charles Honoris, kelihatannya juga "keukeuh" menolak pelibatan TNI dan menganggapnya sebagai pengkhianatan terhadap reformasi. Justru statemen Charles ini menimbulkan pertanyaan, kalau pelibatan TNI dalam menangani terorisme itu bertentangan dengan semangat reformasi, apakah berarti reformasi memberikan ruang kepada terorisme ? Entah apa yang berada dibenak (atau dibelakang benak) kedua orang tersebut
Sepertinya, pihak-pihak yang menolak pelibatan TNI dalam penanganan terorisme kurang memahami (atau sengaja pura-pura tidak memahami) bahwa terorisme ibarat api dalam sekam dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia, yang sangat mudah terbakar ketika terjadi tiupan angin. Berkaca dari apa yang terjadi di berbagai belahan dunia, tentu tidak sulit untuk memahami bahwa terorisme adalah sebuah ancaman serius sekaligus kejahatan luar biasa (extraordinary crime)Â terhadap kemanusiaan. Oleh karenanya, penanganannya juga tidak bisa dilakukan dengan cara-cara yang biasa, yang sekedar mengedepankan prinsip hukum pidana (criminal justice system).
Terorisme juga telah menjadi salah satu ancaman terhadap kedaulatan sebuah negara, karena ditujukan untuk merubah sistem ketatanegaraan mengikuti sistem yang dianut oleh kelompok teror. Buku Putih Pertahanan RI, menegaskan bahwa terorisme adalah salah satu ancaman yang potensial untuk dihadapi oleh NKRI pada kurun waktu 10 hingga 15 tahun mendatang. Oleh karena itu, ancaman terorisme haruslah dihadapi oleh seluruh komponen bangsa secara kolektif dan integratif. Perlu pemahaman terhadap model penanganan terorisme untuk mendapatkan solusi yang tepat dalam memberantas terorisme hingga ke akar-akarnya.
Terkait dengan penanganan terorisme ini, kita memang telah memiliki UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Undang-undang ini merefleksikan pandangan bangsa Indonesia terhadap terorisme sebagai sebuah 'tindak pidana'. Oleh karenanya, Polri tampil sebagai pemeran utama dalam setiap upaya pemberantasan terorisme di Indonesia. Namun demikian, dalam kurun waktu 13 tahun, implementasi UU tersebut dinilai oleh banyak kalangan belum berjalan secara efektif. Berbagai persoalan yang muncul, justru dianggap berpotensi menumbuhkan radikalisme dan terorisme baru yang lebih besar. Realitas itulah yang kemudian mendorong berkembangnya wacana untuk melakukan revisi atas UU No 15 Tahun 2003 tersebut, dan hingga saat ini pembahasannya terus dilanjutkan dengan arah yang semakin jelas, yaitu memberikan ruang bagi TNI untuk terlibat langsung dalam menghadapi terorisme.
Bila kita melihat model pendekatan dalam penanganan terorisme ini, Ronald Crelinsten, pengamat dan ahli counter-terrorism, membagi pendekatan penanganan terorisme menjadi dua model, yaitu war model dan criminal justice model.War model lebih mengedepankan peran dan fungsi militer untuk mengatasi ancaman teroris dalam konteks strategi nasional. Sedangkan criminal justice model mengutamakan peraturan dan undang-undang yang dibuat dalam sistem demokrasi dengan mengedepankan aksi polisionil.
Bila mengacu pada UU RI No 15 tahun 2003, maka Indonesia termasuk kategori negara yang menerapkan model Criminal Justice.Namun, UU RI No 34 tahun 2004 tentang TNI, salah satu tugas TNI dalam OMSP yaitu mengatasi aksi terorisme, menyiratkan bahwa Indonesia juga menerapkan pendekatan War Model. Namun demikian, sepertinya banyak pihak yang sengaja 'mengabaikan' amanah konstitusi yang tercantum dalam UU RI no 34 tahun 2004 tersebut dengan berbagai argumennya.Akibatnya, prajurit dan satuan elit TNI yang memiliki kualifikasi dan perlengkapan khusus untuk mengatasi terorisme tidak terberdayakan dengan maksimal untuk kepentingan negara.