Mohon tunggu...
Djoko Nawolo
Djoko Nawolo Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pemerhati sosial

Sekedar menyalurkan hobi berceloteh tentang segala hal

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Catatan Lebaran 2

21 Juli 2015   18:35 Diperbarui: 21 Juli 2015   18:35 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari kelima lebaran atau hari terakhir libur bersama sebelum besok pagi kembali masuk kantor, diskusi tentang peristiwa Tolikara masih saja berlangsung dengan hangat di berbagai grup media sosial. Sudut yang digunakan orang pun semakin beragam. Saya sensiri sebenarnya sangat ragu-ragu untuk berkomentar tentang permasalahan itu, karena menginjakkan kaki di wilayah NKRI paling timur itupun saya belum pernah, sehingga saya tidak tahu dan tidak mengalami sendiri apa yang telah dan sedang terjadi. Oleh karenanya, mustahil juga untuk bisa memprediksikan apa yang kemungkinan akan terjadi berikutnya.

Bagi saya, papua ibarat sebuah tempat imajiner, seperti sebuah kerajaan di dalam dongeng yang hanya ada di buku. Rangkaian ceritanyapun bagi saya ibarat sebuah novel detektif yang tebal, beratus ratus halaman dengan cerita yang sulit dipahami. Saya hanyalah seorang pembaca dan kemudian melukiskan sendiri bayangan yang saya baca itu dalam angan-angan.

Novel yang berjudul Papua itu terlihat oleh saya seperti kumpulan cerita-cerita yang disusun oleh banyak penulis yang semuanya pernah melihat dengan mata kepala sendiri atau mengalami secara langsung berbagai peristiwa yang terjadi di negeri dengan kekayaan alam sangat menggiurkan itu. Di satu bagian saya membaca segala hal yang positif tentang Papua dan masyarakatnya. Sementara itu, di bagian yang lain tertuliskan berbagai sisi negatif pulau besar di timur Indonesia itu. Semuanya diceritakan oleh mereka yang pernah melihat dan mengalami sendiri kondisi di Papua. Gambaran saya tentang Papua akhirnya campur aduk, kadang hitam dan kadang putih.

Terkait peristiwa di Tolikara yang terus berkembang dan sudah menjadi komoditas politik dunia, saya ingat pesan atau permintaan Komisi I DPR RI pada saat Rapat Dengar Pendapat dengan Jenderal Gatot Nurmantyo yang ditunjuk oleh Presiden RI untuk menjadi Panglima TNI beberapa waktu yang lalu. Wakil rakyat menaruh harapan besar kepada TNI (Panglima yang baru) untuk menyelesaikan konflik di Papua dan Aceh (http://logikanews.com/komisi-i-harap-jenderal-gatot-mampu-selesaikan-konflik-aceh-dan-papua)

Permintaan atau harapan Komisi I DPR RI itu bagi saya memunculkan kebanggaan dan keprihatinan sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Bangga karena TNI yang sempat dihujat dan dicaci maki 20 tahun yang lalu ternyata masih sangat dibutuhkan dan dicintai rakyat, sekaligus menjadi tumpuan harapan terbesar untuk menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat. Hasil survey LSI awal tahun ini yang menempatkan TNI sebagai institusi yang paling dipercaya publik di negeri ini juga menjadi bukti bahwa TNI masih pada komitmennya sebagai pengawal kedaulatan ditengah carut marut nya persoalan yang menimpa institusi lain. Disisi yang berseberangan, saya juga memiliki keprihatinan dibalik permintaan wakil-wakil rakyat tersebut. Hal itu seolah-olah menyiratkan persepsi bahwa masalah Aceh dan Papua adalah masalahnya TNI, lupa bahwa di dua wilayah itu bertumpuk berbagai persoalan multidimensi yang sebenarnya menjadi tanggung jawab negara dengan segenap komponennya untuk menyelesaikan.

Memang persoalan terbesar di dua wilayah tepian NKRI itu adalah potensi separatisme yang merupakan domain tugas TNI sesuai Undang Undang. Tetapi, tidak boleh dilupakan juga pemahaman lebih lengkap bahwa domain TNI mengatasi separatisme adalah ketika kelompok separatis itu melakukan aksi bersenjata dalam skala tertentu, dan itupun dilakukan melalui beberapa tahapan yang ditetapkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR, mulai dari tertib sipil hingga darurat perang. Bila kita mau jujur, dalam perjalanannya tidak terlalu banyak intensitas aksi bersenjata yang dilakukan oleh kelompok separatis dalam skala besar yang mengharuskan diberlakukannya darurat militer maupun darurat perang sehingga perlu mengerahkan kekuatan TNI.

Namun, sepertinya harapan besar bangsa kepada TNI untuk menyelesaikan persoalan di Aceh dan Papua harus disikapi secara positif sebagai bentuk kepercayaan rakyat. Setidaknya TNI harus tetap memainkan peran dan fungsinya sebagai GARDA TERDEPAN sekaligus BENTENG TERAKHIR, mengajak seluruh komponen bangsa atau stakeholder terkait untuk bersama-sama menyelesaikan persoalan secara komprehensif. Dan yang lebih penting, itu semua harus didasari oleh komitmen yang tulus, bersih dari berbagai "kepentingan lain" yang mengotorinya. Gunakanlah sapu yang bersih untul membersihkan rumah agar tidak hanya sekedar 'meratakan kotoran yang menumpuk" atau 'mengganti kotoran yang satu dengan kotoran yang lain."

Beban tugas TNI tentu saja tidak menjadi semakin ringan setelah pemerintah memutuskan untuk membebaskan beberapa tahanan politik di Papua serta memberikan kebebasan kepada pers asing untuk melakukan peliputan di seluruh wilayah Papua. Keputusan pemerintah itu tentu tidak bisa ditolak oleh TNI sebagai aparat negara selama tidak ada unsur pelanggaran konstitusi, namun disisi yang lain, TNI harus bekerja ekstra keras untuk menjaga agar keputusan itu tidak menimbulkan efek yang membahayakan.

Peristiwa Tolikara pada Hari Raya Idul Fitri kemaren 'hanyalah' salah satu dan sebagian kecil dari tumpukan masalah di Papua secara keseluruhan. Ledakannya memang berupa sebuah gangguan keamanan dan stabilitas sosial masyarakat, tetapi pemicunya mestinya tidak hanya sesederhana yang terlihat. Namun, walaupun tidak menimbulkan korban jiwa besar, karena terjadi pada momentum yang sangat penting, dampak yang ditimbulkan sangatlah besar dan kompleks. Hal ini menunjukkan betapa tidak sederhananya penyelesaian yang harus dilakukan oleh semua pihak secara kolektif dan sinergis.

Ketika beberapa waktu yang lalu terjadi konflik TNI-Polri (entah untuk yang ke berapa ribu kali), beberapa pihak mewacanakan agar kedua institusi benar-benar kembali kepada khittahnya, komitmen profesinya yang hakiki. Jangan berada di zona abu-abu, jangan gemar mencampuri bidang tugas orang lain agar berbagai persoalan sosial yang menimpa kedua institusi tersebut bisa dihindari. Namun, dihadapkan pada persoalan pelik Aceh dan Papua, justru terkesan bahwa ke-abu-abu-an zona itu diperlukan agar semua stakeholder bisa saling bahu membahu mengatasi persoalan secara bersama-sama dalam langkah nyata yang komprehensif.

Itulah sebenarnya yang menjadi spirit dari pemikiran perlunya Undang Undang tentang Keamanan Nasional, yaitu membagi tanggung jawab dan mengajak pelibatan semua komponen bangsa untuk menghadapi berbagai masalah sosial secara bersama-sama. Namun entah mengapa, ada pihak-pihak yang berkeras menentang niat baik itu dengan memunculkan opini bahwa seolah-olah UU tersebut akan menghidupkan militerisme dan mengebiri fungsi salah satu institusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun