Bagi yang sudah familiar dengan perangkat lunak (software) computer atau smartphone tentu tidak asing lagi bahwa perangkat lunak yang bisa dibeli atau di download secara umum terbagi atas tiga jenis yaitu trial version, full version dan pro. Perangkat lunak trial version biasanya diberikan secara gratis oleh produsen untuk promosi atau menarik konsumen agar menggunakan produk tersebut, dan hanya bisa digunakan dengan sangat terbatas baik dari aspek waktu maupun kelengkapannya. Bagi pengguna awam yang ingin dapat menggunakan perangkat lunak tersebut dengan lengkap dapat membeli (dan ada juga yang menyediakannya untuk di download secara gratis) versi yang lengkap (full version) tetapi standard. Versi ini sudah bisa memenuhi kebutuhan standard pengguna, namun masih memiliki keterbatasan-keterbatasan dari aspek komponen pendukung yang lebih advanced. Sedangkan para praktisi ahli yang menekuni bidang tertentu secara professional, penyedia perangkat lunak menyediakan very yang pro dengan fitur-fitur yang lebih lengkap dan memerlukan keahlian khusus untuk mengoperasikannya. Tentu saja harga perangkat lunak versi ini lebih mahal dibandingkan dengan versi yang standard, namun fasilitas yang disediakan tentu saja juga lebih baik dan mampu memberikan kenyamanan serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lebih dari sekedar standard.
Kejadian jatuhnya pesawat herkules C-130 milik TNI AU di Medan yang menewaskan lebih dari 100 orang awak dan penumpang tentu saja merupakan musibah yang tidak diinginkan oleh siapapun. Seperti halnya rangkaian musibah sebelumnya yang secara beruntun terjadi di negeri ini dalam waktu belakangan seperti jatuhnya pesawat AirAsia, terbakarnya F-16 hingga jatuhnya herkules C-130 kemaren, selalu menimbulkan duka yang mendalam bagi masyarakat, khususnya yang anggota keluarganya menjadi korban dalam musibah tersebut. Namun diluar itu, sebagaimana yang hampir selalu mengikuti sesaat setelah sebuah musibah terjadi adalah berkembangnya berbagai spekulasi di tengah publik. Sesaat setelah jatuhnya pesawat herkules di Medan kemaren, respons yang beragam pun serta merta menyeruak, mulai dari gugatan terhadap dugaan ‘komersiallisasi alutsista TNI’, carut marutnya proses pengadaan alutsista hingga profesionalitas prajurit yang mengawaki alutsista. Hingga saat saya menulis inipun, berbagai stasiun televisi masih sedang menyiarkan secara langsung proses evakuasi serta melakukan talk show terkait dengan musibah herkules ini dengan sudut pandang yang beragam.
Secara umum, musibah yang menimpa TNI AU sebagaimana yang juga pernah terjadi di TNI AD maupun TNI AL baik yang berupa panser atau truck TNI AD menabrak pengguna jalan akibat rem blong, tank marinir terguling maupun kapal TNI AL yang tenggelam merepresentasikan masih rendahnya profesionalisme TNI, yaitu profesionalisme dalam pemahaman yang sangat luas.
Sebagaimana perangkat lunak (software) yang disebutkan diatas, militer juga memiliki profesionalisme yang trial version, seperti keterampilan-keterampilan dasar kemilliteran yang diberikan secara sangat terbatas kepada para Menwa, Wanra, Hansip dan dalam pendidikan-pendidikan bela negara kepada para pegawai sipil. Seperti sebuah perangkat lunak, profesionalisme ini hanya menyentuh kulitnya saja dan tidak sepenuhnya bisa digunakan untuk melaksanakan tugas pokok militer yaitu bertempur.
Dalam konteks TNI, UU RI no 34 tahun 2004 tentang TNI menyatakan pada pasal 2 point d. bahwa Tentara Profesional, adalah tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi. Profesionalisme sebagaimana yang tertuang dalam Undang Undang TNI tersebut dapat dipahami sebuah profesionalisme standard yang seharusnya dimiliki oleh prajurit. Ibarat sebuah prodk perangkat lunak, profesionalisme seperti itu termasuk kategori full version. Profesionalisme pada tingkatan standard ini adalah dimilikinya pengetahuan dan keterampilan dasar keprajuritan dengan baik seperti menembak, beladiri, baris berbaris, teknik dan taktik dasar pertempuran dan lain-lain. Mungkin termasuk terpenuhinya standard kebutuhan minimal prajurit yang diberikan melalui gaji dan tunjangan. Belum mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan akan layanan pendidikan, asuransi kesehatan maupun kuantitas dan kuailtas alutsista sebagaimana tuntutan militer modern.
Untuk mampu melaksanakan tugas-tugas secara optimal, maka sebenarnya TNI pun memerlukan profesionalisme yang berjenis pro®, seperti sebuah perangkat lunak komputer. Profesionalisme pada tingkatan ini sudah memungkinkan para prajurit untuk benar-benar fokus melaksanakan tugasnya sebagai seorang prajurit yang disiapkan untuk tugas-tugas tempur dan tugas lain sesuai konstitusi tanpa harus memikirkan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lain dalam hidupnya. Profesionalisme pada tingkatan ini juga memerlukan dukungan berupa alutsista dalam kuantitas dan kualitas yang memadai.
Sebagaimana sebuah perangkat lunak komputer, jenis pro® memang berharga lebih mahal dibandingkan dengan full version apalagi yang trial version yang masih sering bisa didapatkan juga secara gratis. Demikian pula profesionalisme, pada tingkatan pro® menuntut pembiayaan yang besar atau mahal. Profesionalisme pada tingkatan ini harus mampu menjamin bahwa para prajurit mampu menunaikan tugas pokoknya dengan hasil maksimal dan resiko yang minimal, walaupun secara alami tugas militer berurusan dengan resiko hilangnya nyawa. Artinya, bila ingin mencapai profesionalisme pada tingkatan pro®, maka negara harus menyiapkan anggaran yang besar untuk bisa menjamin kebutuhan para prajurit hingga ke pelayanan pendidikan untuk anak-anaknya terjamin, sehingga para prajurit bisa benar-benar fokus kepada tugas pokoknya mengabdi untuk negara. Negara juga perlu memberikan anggaran yang besar untuk menjamin bahwa prajurit bisa melaksanakan latihan dengan baik, dengan fasilitas yang memadai. Negara juga harus memberikan alutsista yang jumlah dan kualitasnya mampu memberikan keyakinan kepada para prajurit yang mengoperasionalkannya. Dan itu semua adalah hal yang sangat mahal…….
Tetapi terlepas dari perangkat lunak yang bernama Profesionalisme Pro® yang diharapkan dapat mengoptimalkan kinerja dan meminimalisir resiko, ada satu faktor krusial yang juga harus di-pro®-kan, yaitu karakter atau kultur sumber daya manusia. Secanggih apapun perangkat lunaknya, bila yang menggunakan tidak memiliki karakter yang baik, maka masih menyimpan potensi-potensi kerawanan yang tinggi. Bila manusia yang menggunakan Profesionalisme Pro® ini masih hobi membeli perangkat lunak bajakan dari pinggir jalan, maka akan muncul kemungkinan bahwa perangkat lunak itu tidak akan kompatibel dengan perangkat kerasnya, dan justru akan bisa merusak.
Semoga berbagai musibah yang pernah terjadi mampu memberikan pelajaran kepada kita semuanya bahwa sudah saatnya kita menggunakan perangkat keras Profesionalisme Pro® yang orisinil agar lebih mampu menjalankan tugas-tugas negara secara optimal dengan resiko yang minimal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H