Hari ini di social media berhamburan status, share link, tweet, meme dan post menyangkut tutupnya 7 Eleven. Manajemen PT Modern Internasional Tbk akan menutup seluruh gerai 7-Eleven yang di bawah anak usaha perseroan yaitu PT Modern Sevel Indonesia. Penutupan seluruh gerai di Indonesia mulai dilakukan 30 Juni 2017.
Dalam beberapa tahun terakhir atau dekade terakhir, daku tidak pernah berfikir akan jatuhnya brand ternama ini. Kalau netizen bilang "Too Big To Fail" atau terlalu besar untuk gagal. 7 Elevan tiga tahun kebelakang merupakan lokasi yang ngehits untuk nongkrong bagi anak muda dan entepreneur bertemu urusan loby-loby kece.Â
Menurut daku jatuhnya brand ini karena penggunaan strategi penjualan produk yang stuck on the midle tidak berjalan konsisten dari sisi penjualan. Layanan berupa makanan siap saji ala cafe seperti spagheti, nasi goreng instan, chicken katsu, japanese chicken curry dan lainnya  mungkin hanya diawal-awal beroperasinya 7 Eleven di Indonesia produk tersebut digemari.Â
Tetapi beberapa tahun terakhir para anak muda hanya numpang nongkrong dengan membeli snack, dan minuman bersoda / mineral yang harganya masih cukup terjangkau bagi kebanyakan anak muda di kota besar. Sepertinya 7 Eleven nanggung dalam membranding diri di Indonesia, berniat seperti coffee shop premium yang memiliki brand image high class tetapi menjual pula produk masyarakat kebanyakan.
Pilihan strategi menjual layanan produk yang tidak sesuai dengan tingkat ekonomi masyarakat kebanyakan membuat brand ini berdarah-darah mempertahankan hidup. PT Modern Internasional Tbk mengalami penurunan penjualan 37,17 persen dari Rp 220,66 miliar menjadi Rp 138,62 miliar pada kuartal I 2017.
Selain 7 Eleven apabila masih ingat sepekan yang lalu menyangkut akuisisi search engine Yahoo oleh Verizon Communication Inc. Akuisisi tersebut bernilaUS$ 4,48 miliar (setara Rp 59,7 triliun). Tuntasnya akuisisi ini menandai akhir Yahoo sebagai perusahaan internet mandiri. Yahoo sebelumnya dikenal sebagai perusahaan pionir internet yang nilainya pernah menyentuh angka US$ 100 miliar (setara Rp 1.333 triliun).
Kita mengenal Yahoo sebagai brand layanan internet seperti mesin pencari, email, chat dan massanger. Sebelum begitu kuatnya Google di layanan internet, kita lebih dulu mengenal yahoo. Tua sebelum waktunya itu mungkin kata yang bisa daku ucapkan. Terlalu percaya diri dengan produk yang dimiliki dan enggan bertarung dengan microsoft di era pertengahan 90an dan periode 2000an.
Ketika era smartphone tubuh dan startup baru bermunculan, mengusung misi baru dalam mengenggam tehnologi, daku tidak melihat ada terobosan dari Yahoo di era 2000-an. Bisa daku katakan terlihat seperti tidak mampu beradaptasi di era smartphone. Yahoo terlihat kedodoran untuk menghadirkan ekosistem untuk mendatangkan trafik dari pengguna smartphone.Â
Sebetulnya sebelumnya kita juga tau bahwa ada korban dari "Too Big To Fail" lainnya yang lebih dulu pensiun atau tertatih-tatih merintis kembali kejayaan. Friendster, Nokia dan Blackberry bisa menjadi contoh. Tidak banyak yang mengira friendster dan ke-2 raksasa ponsel ini akan terpuruk begitu dalamnya.Â
Nokia percaya diri dengan sistem operasi Sybian dan Blackberry dengan Blackberry Massanger. Ketika Android dan touchscreen mulai digunakan oleh merk pesaing lainnya, ke 2 brand ini merasa sistem operasi yang mereka gunakan sudah cukup tangguh. Padahal para pengguna mulai beralih kepada tehnologi yang baru. Ketika mereka tersadar tetapi sudah terlambat dan berujung megalami luka yang sulit untuk disembuhkan.
Bagaimanakah dengan Kompasiana ???? ......Â